Ombudsman RI Harus Segera Rekomendasikan Status EV 986 Di Kota Ambon

Ombudsman RI Harus Segera Rekomendasikan Status EV 986 Di Kota Ambon

Ambon, Aktual News-Berdasarkan kewenangan menurut UU Nomor 37 tahun 2008 jo UU Nomor 25 tahun 2009, Ombudsman berwewenang merekomendasikan langkah-langkah penyelesaian sesuatu laporan maladministrasi antara lain pengabaian kewajiban hukum oleh seseorang Pejabat atau Pelaksana Pelayanan Publik. Malah kompleks kewenangannya ini meliputi pula pengenaan sangsi bilamana ada seseorang pejabat atau pelaksana pelayanan publik yang mengabaikan rekomendasinya.

Bagaimanakah halnya bila ternyata pengabaian kewajiban hukum itu justru dilakukan sendiri oleh Ombudsman RI ? Seperti yang terjadi dalam kasus persil tanah bekas eigendom verponding (EV) Nomor 986 di Kota Ambon, yang konon jauh sebelum ini telah dilaporkan oleh PT Maluku Membangunsejak bulan Desember 2013 dan Dewan Komite Daerah Komite Nasional Penyelamat Asset Negara (DKD Kom-Nas PAN) Kota Ambon pada bulan Agustus 2016.

Adapun pengabaian kewajiban hukum Ombudsman RI terkait persil tanah ex EV Nomor 986 di Kota Ambon dikemukakan oleh advokat Soraya Dharmawatykepada Munir Akhmad dari media ini di Jakarta, pada sore hari Minggu (12/5). Lembaga pelat-merah ini dinilai telah mengabaikan kewajiban hukumnya yang diberikan undang-undang karena tidak menanggapi laporan ke-2 PT Maluku Membangun mau pun DKD Kom-Nas PAN Kota Ambonsampai jauh melampaui limit waktu yang ditentukan undang-undang. Laporan PT Maluku Membangun, kata Soraya, berisi “klaim” bahwa persil ex hak barat itu adalah milik perusahaan ini berdasarkan hibah dari ahli waris pemilik-asaldengan memperhadapkan bukti-bukti Surat Hibah dengan lampiran-lampirannya yang meliputi Grosse Acta van Eigendom dan Meetbriefdisamping Surat Bukti Pendaftaran Tanah, sedangkan dari DKD Kom-Nas PAN Kota Ambon hanya melihat statusnya seakan-akan benar “tanah negara” namun peruntukannya dilakukan oleh Kakanwil ATR/BPN Provinsi Maluku dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon dengan menyimpangi syarat-syarat sahnya pemberian hak milik atas tanah negara bekas eigendom. Sama halnya PT Maluku Membangun, maka laporan DKD Kom-Nas PAN Kota Ambon ditujukan pula kepada Ombudsman RI Perwakilan Maluku di Ambon namun disertai tembusan kepada segenap pejabat instansi terkait termasuk Kapolri dan Kapolda Maluku hingga Ombudsman RIdi Jln Rasuna Said Jakarta.

Dikatakan, hamparan tanah bekas hak Barat seluas lebih 90HA ini hingga beberapa tahun terakhir dikuasai negara cq Kakanwil Kementerian ATR/BPN (dahulu : Kakanwil BPN) Provinsi Maluku dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon dengan dalil “tanah negara” hasil penghapusan (likwidasi) tanah-tanah partikulir saat berlakunya UU No. 1 tahun 1958. Menurut dia, kalau benar berstatus “tanah negara”, maka persil ex eigendom ini adalah obyek landreform yang berarti peruntukannya mesti merujuk PP Nomor 224 tahun 1961 antara lain memberikan prioritas kepada bekas penggarap dengan hak milik tetapi luasnya tak boleh lebih 1 HA atau 10.000m2. Pemegang hak-milik ini pun wajib tunduk pada norma psl 10 UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yaitu harus diolah dan dirawat secara lestari sesuai fungsinya sebagai tanah pertanian.

Ternyata, tukasnya, sejak awal dekade 1970an pejabat-pejabat instansi ini menerbitkan sejumlah keputusan pemberian hak milik dan sertifikat hak milik (SHM) pada persil eks hak barat tersebut secara melawan hukum. Disebutkannya beberapa SHM yang diterbitkan dengan keputusan yang melawan hukum, antara lain : SHM No. 111 atas nama Suita Tandraseluas 12.000m2SHM No. 112atas nama Max Angkisan seluas 22.222m2, SHM No. 140 atas nama Eli Lisa seluas 33.333m2 dan SHM No. 158 atas nama Martha Tantui seluas 16.000m2. SHM2 ini, menurut dia, selain luasnya jauh melampaui batas maksimum 1HA menurut PP Nomor 224 tahun 1961, para penerima hak ini pun bukan bekas penggarap atau pun golongan tani lainnya melainkan malah pengusaha. Selain itu, ada beberapa hak milik baru lagi pada dekade 1990an yang diterbitkan pada saat persil ex EV Nomor 986 ini sedang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Negeri Ambon, antara lain : HM No. 927/Batumerah dan HM No. 928/Batumerah kedua-duanya tgl 21 April 1998 serta HM No. 963/Batumerah tgl 30 September 1998 semuanya atas nama Khoe Tjeng Jaoe dan Richan Kusno.

Dari bukti SHM, urainya, terungkap hak-hak ini ada yang digunakan sebagai agunan memperoleh kredit bank dan ada yang dijual dalam ukuran kapling-kapling kecil malah didukung pejabat-pejabat Agraria/Pertanahan dengan menerbitkan SHM baru dari pemecahan/pemisahan itu, tetapi bagian-bagian yang kosong dibiarkan terlantar bahkan sampai masuk awal tahun 2000an. Gara-gara terlantar, akhirnya bagian tanah-tanah kosong ini ditempati warga korban kerusuhan Kota Ambon tahun 1999, antara lain Tapmonia Tuasikal SE bersama Ai Cahyani Dkk di RT 004/RW 008 Tanah Rata dan Muhammad Latuconsina Dkk di RT 006/RW 009 Kebun Cengkih.

Ternyata, tambah Soraya, walau pun menurut hukum hak-hak tersebut mengandung cacat dan karena itu harus dibatalkan, namun laporan DKD Kom-Nas PAN Kota Ambon kepada Menteri ATR/BPN diabaikan sehingga diajukan kepada Ombudsman RI tetapi sudah sekian lama tidak mendapat respon. Padahal selama ini Tapmonia Dkk bersama Mohammad Latuconsina Dkkhidup tidak nyaman gara-gara dikejar-kejar pemegang hak itu kadang malah menyertakan orang-orang bertampang sangar laksana preman, hanya dengan mengandalkan SHM.

Oleh sebab itu dia berharap Ombudaman RI mau segera memperbaiki kekeliruannya dengan menerbitkan rekomendasi penyelesaian status persil ex EV Nomor 986 ini agar warga yang selalu jadi kejaran pemegang SHM selama ini juga merasa terlindung oleh negara. Kalau benar ini tanah negara, katanya, maka penyimpangan dari syarat-syarat sahnya sudah cukup sebagai dasar penerbitan  rekomendasi pembatalan hak-hak dan SHM2 tersebut agar jangan lagi dijadikan alat oleh pemegang hak/SHM untuk memeras warga masyarakat yang sebagiannya justru berasal dari korban kerusuhan Ambon beberapa waktu lalu. Sebaliknya bila ternyata tidak terdapat cukup bukti persil ex hak barat ini telah dilikwidasi saat berlakunya UU Nomor 1 tahun 1958, maka secepatnya direkomendasikan penyerahannya kembali kepada PT Maluku Membangun sesuai bukti-bukti yang ada padanya. Jangan sampai gara-gara terdesak warga membayar kepada pemegang SHM, padahal hak-hak itu mengandung cacat, atau bahkan siapa tahu bukan berstatus tanah negara. [ Red/Akt-13 ]   Munir Achmad Aktual News

Sumber: