Waspadai Distopia Flexing dan FOMO di Media Sosial
Ilustrasi remaja terkena dampak distopia flexing & fomo media sosial /freepik--
Jakarta, AktualNews- Pernah merasa iri melihat story liburan mewah temanmu di Instagram? Atau cemas ketinggalan tren dance terbaru TikTok yang lagi viral, sampai-sampai kamu ikutan bikin video walau agak canggung? Selamat datang di realita distopia media sosial, dunia yang diciptakan oleh dua raksasa digital: flexing dan FOMO.
Generasi Z, sebagai generasi yang paling akrab dengan dunia maya, sangat rentan terhadap jebakan ini. Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana flexing dan FOMO membentuk sebuah realita yang bisa merusak kesehatan mental dan kesejahteraan kita, khususnya bagi remaja di Indonesia.
BACA JUGA: Media Sosial: Teman Dekat atau Musuh Dalam Selimut?
Distopia Media Sosial: Lebih dari Sekedar Filter dan Emoji
Bayangkan dunia di mana media sosial, yang seharusnya menjadi jembatan koneksi dan informasi, justru berubah menjadi penjara digital. Di sanalah kita terjebak dalam perbandingan tak berujung, dihantui rasa takut ketinggalan, dan terdorong untuk mengejar hal-hal yang sebenarnya tak kita butuhkan, seperti mengejar jumlah followers atau likes yang fantastis.
Itulah gambaran distopia media sosial, suatu keadaan di mana platform digital yang seharusnya memperkaya hidup, malah menciptakan rasa tidak aman, kecemasan, dan ketidakpuasan. Bayangkan, seharusnya media sosial bisa jadi tempat berbagi cerita dan pengalaman positif, tapi malah jadi panggung perbandingan yang tak sehat.
Flexing: Pamer Tajir, Atau Sekedar Cari Validasi?
Istilah "flexing," berasal dari kata kerja "to flex" dalam bahasa Inggris yang berarti memamerkan, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan media sosial.
Dari foto liburan di Bali dengan latar belakang pemandangan memesona hingga unboxing barang branded terbaru, flexing menunjukkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian pribadi secara berlebihan. Seringkali, flexing bukan hanya sekadar pamer, tapi juga upaya untuk mencari validasi dari orang lain. "Lihat aku, aku sukses!" pesan tersirat di balik setiap unggahan flexing. Fenomena ini memiliki beberapa manifestasi yang perlu kita cermati:
1. Pamer Kekayaan dan Gaya Hidup
Flexing seringkali menampilkan barang-barang mewah, perjalanan ke luar negeri, atau gaya hidup glamor. Tujuannya? Menarik perhatian dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Bayangkan, sebuah foto makan malam di restoran mewah, diiringi caption yang menonjolkan harga makanannya. Apakah itu benar-benar tentang makanan, atau lebih kepada ingin menunjukkan status sosial?
2. Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat
- Share
-