Imlek, Potret Keindonesiaan

Imlek, Potret Keindonesiaan

Jakarta, Aktual News-Tahun lalu, tiga pimpinan lembaga tinggi negara, yakni Presiden Joko Widodo, Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Ketua MPR Zulkifli Hasan menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru Imlek 2569. Jokowi menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru Imlek melalui akun twitter resminya, @jokowi, pada Jumat pagi (16/2/2018). Lewat akun facebook-nya, Jokowi juga menyampaikan ucapan Selamat Tahun Baru Imlek. "Selamat Tahun Baru Imlek 2569 bagi yang merayakan. Badan sehat, hati damai dan selalu bahagia. Kemakmuran menyertai kita semua -Jkw," demikian cuitan Jokowi di akun twitternya. Bambang Soesatyo (Bamsoet) berharap perayaan Tahun Baru Imlek bisa membawa hikmah tentang pentingnya menghargai keberagaman di Indonesia. Dia menilai perayaan Tahun Baru Imlek mempunyai makna penting bagi Bangsa Indonesia. "Keberagaman bukan hanya menjadi kekayaan nasional melainkan telah menjadi ruh bagi bangsa kita," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Antara. Sedangkan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan juga mengatakan peringatan Hari Raya Imlek, yang menjadi hari libur nasional, merupakan wujud dari semangat kebhinnekaan Bangsa Indonesia. "Selamat Hari Raya Imlek. Gong Xi Fa Cai. Mari kita rayakan keberagaman," kata Zulkifli dalam keterangan tertulisnya. Ucapan selamat dari tiga pimpinan lembaga negara itu adalah sebuah bentuk penegasan bahwa negeri ini, bangsa ini adalah negeri yang memiliki beragam budaya, bangsa yang plural, majemuk. Ketiga pimpinan lembaga negara itu, ingin memberikan pesan yang kuat kepada seluruh bangsa bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah kenyataan yang harus, tidak hanya dipelihara, melainkan terus ditumbuh-suburkan dengan sikap saling hormat-menghormati di antara sesama anak bangsa. Tentunya, kita harus berterima kasih kepada Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid—Gus Dur—yang telah menetapkan Imlek sah sebagai hari raya di negeri ini. Bahkan, langkah Gus Dur lebih jauh lagi dan sangat pantas dihormati, sebab ulama besar ini mencabut antara lain, Inpres Nomor 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dicabutnya Inpres tersebut, kepada Masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Tentu, dalam hal ini, termasuk merayakan upacara agama seperti Imlek secara terbuka. Yang berarti sama dengan perayaan upacara keagamaan agama lain. Dengan keputusan itu, maka yang disebut agama dan diakui di negeri ini tidak hanya seperti sebelumnya—Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Tetapi, masyarakat Tionghoa pun tanpa lagi diiringi rasa kekhawatiran dan ketakutan memperkenalkan kembali agama Konghucu. Karena itu, tidak pada tempatnya lagi, tidak ada manfaat dan dan gunanya lagi, selalu membicarakan atau memperdebatkan Imlek itu perayaan budaya atau agama. Sejak saat itu, perayaan Imlek semarak lagi di mana-mana, dengan berbagai macam kelengkapannya, termasuk pentas barongsai, pemasangan lampion, dan kue-kuenya yang menjadi ciri peryaan Imlek. Keputusan Gur Dur, pada tahun 2003 bisa dikatakan disempurnakan oleh Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri, yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Kalau kita sedikit menoleh ke belakang, sebenarnya, nyaris sejak republik ini lahir (1945), perayaan Imlek sudah diakui secara resmi oleh negara. Pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan tentang hari raya keagamaan dan Imlek yang disebut “hari keagamaan warga Tionghoa.” Bukan tanpa alasan, tentu, kalau Bung Karno membuat keputusan seperti itu. Salah satunya adalah peran serta dan perjuangan warga Tionghoa dalam mendirikan dan mempertahankan negara ini, Indonesia. Keputusan yang hebat dari Bung Karno itu diralat oleh Presiden Soeharto, setelah peristiwa G30S/PKI. Soeharto pada tahun 1967, menyatakan Imlek bukan hari raya keagamaan lagi. Bahkan lewat Instruksi Presiden Nomo 14 Tahun 1967, Soeharto melarang segala budaya yang berbau Tionghoa, di antaranya perayaan Imlek. Tentu, keputusan itu adalah sebuah kemunduran. Kemunduran dalam berbangsa dan bernegara dari sebuah negara dan bangsayang majemuk; yang memiliki beragam budaya. Sekaligus juga, keputusan tersebut seperti menghapus peran serta warga Tionghoa dalam perjuangan mendirikan dan mempertahan negeri ini. Harus diakui juga bahwa keputusan tersebut telah pula menjadi benih suburnya anti-Tionghoa yang kerap kali muncul dan meledak-ledak membakar negeri ini; yang kerap kali merusak persaudaran antar-sesama anak bangsa; yang juga merusak toleransi yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Untunglah, bangsa ini diselamatkan yakni dengan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Gus Dur lah, kini diteruskan oleh Jokowi, yang mengingatkan dan menyadarkan kembali kita semua bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, termasuk di dalamnya ada warga Tionghoa. Kini, di saat perayaan Imlek, kiranya penting untuk bersama-sama merenungkan secara sungguh-sungguh bahwa urusan agama sejauh itu berkembang di masyarakat dan memberikan serta menciptakan perdamaian, kerukunan, persaudaraan, dan ketentraman, pemerintah tak perlu “merecokinya.” Negara, memang, wajib mengayomi, melindungi rakyatnya, namun tidak perlu masuk sampai ke urusan akidah atas nama pembinaan. Sebab, hasilnya justru sebaliknya. Apalagi sekarang ini, tatkala ada tanda-tanda bahwa agama diselingkuhkan dengan politik, diseret-seret dalam urusan politik, tentu hanya akan merusak kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan juga persaudaraan. Bukankah lebih indah kalau kita semua mau menjaga marwah agama yang memberikan kedamaian dan ketentraman. Bukankah juga lebih indah kalau kita semua bisa mensyukuri keberagaman yang merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan. Inilah wujud nyata pengamalan Pancasila di tengah masyarakat Indonesia. Pada akhirnya untuk saudara-saudara kita Tionghoa, Sin Cun Kiong Hi, Thiam Hok Thiam Sioe, Selamat Menyambut Musim Semi, tambah umur tambah kebahagiaan. Semoga kita semua, bangsa ini semakin sejahtera. “Kemakmuran menyertai kita semua," kata Jokowi.[ Red/Akt-01]   Aktual News Sumber : https//jikowidodo.app/    

Sumber: