Melawan Hoax Pandemic Treaty

Melawan Hoax Pandemic Treaty

Ilustrasi/Kemenkes.--

Jakarta, AktualNews-Baru-baru ini, beredar narasi-narasi kontroversial di media sosial Tanah Air mengenai Perjanjian Pandemi, atau yang dikenal sebagai Pandemic Treaty. Namun, narasi-narasi ini berpotensi menyesatkan publik. Faktanya, Pandemic Treaty bertujuan meningkatkan koordinasi, kolaborasi, dan kesetaraan internasional dalam mencegah, mempersiapkan, dan merespons Pandemi pada masa depan.

Sejumlah narasi menyesatkan yang beredar mulai dari gangguan kedaulatan negara, proses negosiasi tertutup, larangan penggunaan obat tradisional di Indonesia, dan potensi pemberian otoritas absolut kepada WHO. Narasi pertama, yakni Pandemic Treaty disebut-sebut telah gagal disepakati karena banyak negara merasa perjanjian itu mengganggu kedaulatan negara dan dapat mengancam keselamatan rakyat.

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., selaku delegasi RI untuk perundingan Pandemic Treaty atau Perjanjian Pandemi, meluruskan kesalahpahaman tersebut. Prof. Wiku menjelaskan, negosiasi Perjanjian Pandemi masih berlangsung dan belum mencapai kata sepakat.

Dalam Sidang World Health Assembly (WHA) ke-77 pada 1 Juni 2024, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan pembahasan Pandemic Treaty. Targetnya, kesepakatan dapat dicapai pada WHA ke-78 tahun 2025 atau lebih awal melalui sesi khusus WHA.

BACA JUGA:Vakum Karena Pandemi Covid 19, Kini Lapak Ngaji CFD Mulai Beraktivitas Kembali

Proses negosiasi Pandemic Treaty dilakukan melalui Badan Perundingan Antarpemerintah atau Intergovernmental Negotiating Body (INB). Artinya, setiap negara anggota WHO berhak memberikan masukan dan menyuarakan pandangannya terhadap setiap pasal dalam rancangan perjanjian.

Rancangan Perjanjian Pandemi, yang terdiri dari 37 pasal, dibahas secara menyeluruh atau satu per satu, mulai dari penataan kata dan kalimat hingga substansi setiap pasal. Selama proses perundingan, terdapat pasal-pasal yang sudah disepakati, setengah disepakati, dan belum disepakati, sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut.

Indonesia, sebagai salah satu negara anggota WHO, aktif memberikan masukan dan memperjuangkan kepentingan nasional, terutama dalam isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.

Dalam hal ini, setiap negara menyuarakan cara dan mekanisme yang tepat untuk memperkuat pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi secara bersama-sama, dengan tetap menjaga kedaulatan negara masing-masing.

“Pandemic Treaty sedang berlangsung pembahasan dan negosiasinya antara negara anggota WHO. Semua negara anggota WHO menginginkan adanya Pandemic Treaty yang dapat mencegah dan melindungi seluruh masyarakat dunia dari ancaman pandemi,” jelas Prof. Wiku di Jakarta, Jumat (21/6).

“Karena negosiasinya masih berlangsung, maka mari kita bersama-sama berpartisipasi mendukung pengamanan kesehatan global (global health security). Semua negara tetap perlu memastikan bahwa kesepakatan yang akan dicapai sesuai dengan kepentingan nasional dan global.”

Pasal 24 ayat 2 rancangan Perjanjian Pandemi WHO telah menegaskan bahwa “Tidak ada satupun ketentuan dalam Perjanjian Pandemi WHO yang dapat ditafsirkan memberikan wewenang kepada Sekretariat WHO, termasuk Direktur Jenderal WHO untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional dan/atau undang-undang domestik, jika diperlukan atau kebijakan negara mana pun atau untuk mengamanatkan atau dengan cara lain memaksakan persyaratan apapun agar Negara Anggota mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima pelancong, menerapkan mandat vaksinasi atau tindakan terapeutik atau diagnostik atau menerapkan lockdown.”

Rancangan Perjanjian Pandemi ini berlandaskan pada prinsip penghormatan penuh terhadap martabat, hak asasi manusia, dan kebebasan mendasar setiap orang. 

Seperti semua instrumen internasional, perjanjian baru ini, jika dan ketika disetujui oleh negara-negara anggota, akan tunduk pada otoritas pemerintah masing-masing negara. Masing-masing negara akan mengambil tindakan apa pun dengan mempertimbangkan undang-undang dan peraturan nasionalnya.

Sumber: