Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

Kasus Ijazah Jokowi, Ujian Integritas Indonesia sebagai Negara Hukum

--

Jakarta, AktualNews- Kontroversi seputar dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo lebih dari sekadar perselisihan pribadi atau politik. Kasus ini merupakan ujian bagi komitmen Indonesia terhadap keadilan, transparansi, dan supremasi hukum. Melalui batu uji “ijazah Jokowi” ini, proses penangannya akan menentukan jalan sejarah kebangsaan kita ke masa depan.

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Inilah bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Sebagai sebuah konstitusi negara, seluruh pasal yang tertuang dalam UUD 1945 tidak hanya wajib untuk dilaksanakan tapi juga pantang untuk diabaikan, apalagi dilanggar. Pelanggaran dan pengabaian terhadap konstitusi, dalam hal ini Pasal 1 ayat (3) UUD, berkonsekwensi hukum terhadap penyelenggara negara, hingga ke pemecatan presiden yang sedang berkuasa.

BACA JUGA:Pidato Wilson Lalengke Dianggap Menginspirasi, Komite PBB Sampaikan Apresiasi

Sejak 2019, rumor dan tuduhan telah beredar mengenai keaslian ijazah sarjana (S1) Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Isu tersebut kembali mencuat saat ini ketika beberapa ilmuwan melakukan penyelidikan terhadap “sampel” ijazah Jokowi yang beredar. Kasusnya semakin santer ketika Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat menggelar sidang sengketa informasi yang menghadirkan pihak UGM dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surakarta. Komisioner KIP mencecar pertanyaan tentang keberadaan dan verifikasi ijazah akademik Jokowi.

Meskipun Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia telah resmi mengonfirmasi keaslian ijazah tersebut dan menutup penyelidikan, kasus ini telah meninggalkan jejak yang signifikan dalam wacana publik. Belasan orang, termasuk mantan Menteri Roy Suryo, telah ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik dan manipulasi dokumen.

Implikasi dari proses hukum yang kontroversial ini tidak hanya menyangkut persoalan apakah ijazah itu asli atau palsu. Kekhawatiran yang lebih mendalam terletak pada bagaimana negara menanggapi tuduhan yang melibatkan pejabat tertingginya. Dalam demokrasi apa pun, terutama yang mengklaim sebagai negara hukum, hukum harus berlaku setara bagi semua warga negara, tanpa memandang status, kedudukan, kekuasaan, atau kondisi tertentu.

Jika tuduhan tersebut tidak berdasar, maka sistem hukum harus melindungi martabat terdakwa sekaligus memastikan bahwa pencemaran nama baik ditangani dengan tepat. Namun, jika ada kebenaran dalam klaim tersebut, betapapun kecilnya, maka hukum wajib menyelidiki secara menyeluruh dan transparan. Menekan penyelidikan atau mempolitisasi proses tersebut pasti merusak kepercayaan publik dan melemahkan fondasi akuntabilitas hukum.

Kasus ijazah Jokowi telah mengungkap ketegangan yang semakin besar antara skeptisisme publik dan kredibilitas institusional. Sudah sangat jamak di negeri ini, rakyat merasa bahwa proses hukum seringkali selektif; cepat dan keras bagi warga biasa, tetapi lambat, lemah, dan tidak transparan ketika melibatkan para elit.

Persepsi ini sangat berbahaya. Kondisi ini akan mengikis kepercayaan terhadap lembaga peradilan, penegak hukum, dan lembaga demokrasi. Jika publik mulai percaya bahwa hukum tunduk pada kekuasaan, maka prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana tertulis dalam Pasal 27 ayat (1) UUD menjadi slogan kosong belaka.

Dalam konteks ini, penanganan negara atas kasus dugaan ijazah palsu Jokowi menjadi sebuah simbol. Ini bukan hanya tentang rekam jejak akademis seseorang. Ini tentang apakah sistem hukum Indonesia dapat mengatasi tekanan politik dan bertindak imparsial.

Aktivitas media dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam menjaga isu ini tetap hidup. Sementara beberapa media partisan telah menepis kontroversi ini sebagai bermotif politik, namun yang lain menyerukan transparansi yang lebih nyata dan reformasi kelembagaan aparat hukum.

Rakyat Indonesia harus terus menuntut akuntabilitas dan transparansi, bukan untuk menyerang individu, tetapi untuk memperkuat norma-norma demokrasi. Hak untuk menginterogasi pejabat publik merupakan landasan demokrasi yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, tanpa pencemaran nama baik atau manipulasi.

Sejalan dengan itu, negara harus merespons bukan dengan sikap defensif, melainkan dengan keterbukaan. Demokrasi yang benar tidak takut diawasi dan dikoreksi. Demokrasi yang bertumpu pada pertanggungjawaban hukum dan keterbukaan pada hakekatnya adalah jalan menuju perbaikan bangsa dan kemajuan peradaban.

Melihat hasil penetapan Bareskrim Polri atas keaslian ijazah Jokowi, babak hukum kasus ini mungkin akan segera berakhir. Namun implikasi yang lebih luas tetap tertinggal dan butuh waktu panjang untuk diselesaikan. Indonesia harus merefleksikan bagaimana menangani tuduhan terhadap para pemimpinnya, tidak hanya dalam hal hasil hukum, tetapi juga dalam hal proses, keadilan, dan keterlibatan publik.

Share
Berita Lainnya