Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto (rompi hitam) mendengar penjelasan mengenai dokumen kesiapsiagaan dan peta berbasis risiko bencana di Kalurahan Karangwuni, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, Kamis (27/6).--

Kulon Progo, AktualNews - Ada sebuah desa yang cantik bernama Kalurahan Karangwuni. Lokasinya berada di Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, lokasi desa ini berada di pesisir selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Kecantikan dari Kalurahan Karangwuni ini tak lepas dari menjamurnya spot wisata di sepanjang garis pantai. Sebut saja Pantai Glagah, Pantai Krida, Pantai Palma, Pantai Raziman dan lainnya. Pantai di Kalurahan Karangwuni itu menjadi pilihan terbaik untuk menikmati _sunset_ atau matahari terbenam.

Karena berada di wilayah pesisir, sebagian besar masyarakat Kalurahan Karangwuni berprofesi sebagai nelayan, meski sebagian ada juga petani, pedagang, pegawai swasta hingga pegawai pemerintah.

Sebagai desa maritim, penduduk Karangwuni tentu saja sudah terbiasa dihadapkan laut selatan yang terkenal dengan ombaknya yang ganas. Hal itu tidak terlepas dari dongeng legenda Nyi Roro Kidul digadang-gadang menjadi sosok di balik keganasan pantai selatan Jawa itu.

Begitulah mitos laut kidul, konon siapa saja tidak boleh sembarangan jika berada di sana. Ada hal-hal yang harus dipatuhi. Itu berlaku bagi siapapun, baik warga sekitar maupun wisatawan atau pendatang baru.

BACA JUGA:Pertemuan Bilateral BNPB dan Korea Bahas Penanggulangan Bencana

Di balik dari fenomena itu, sebenarnya ada temuan sains yang harus disikapi dengan bijak. Yang jelas, hal itu tidak bisa disangkutpautkan dengan mitos penguasa laut selatan tadi.

Dari ilmu sains, wilayah selatan jawa memiliki potensi sesar megathrust yang membentang dari wilayah Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur. Sesar atau patahan itu merupakan bagian dari apa yang disebut “Ring of Fire”. Jika ditarik garis, patahan itu sebenarnya membentang dari barat Sumatera, selatan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Filipina, Jepang dan seterusnya.

Patahan itu menurut para ahli berpotensi memicu terjadinya gempabumi dan dapat mentriger gelombang tsunami. Namun kapan waktunya akan terjadi fenomena alam itu hingga saat ini belum dapat dipecahkan oleh sains.

Dari temuan sains itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk memperkuat mitigasi, kesiapsiagaan masyarakat dan peringatan dini berbasis ekologi dan teknologi sebagai solusi dan antisipasi jangka panjang. Hal itu wujudkan dengan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) yang diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2019.

Melalui program Destana, masyarakat dilatih untuk mempersiapkan diri mulai dari peningkatan kapasitas, mitigasi hingga memahami konsep peringatan dini. Program Destana itu sekaligus menjadi kolaborasi dan sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat demi menciptakan manusia tangguh bencana.

BACA JUGA:Kepala BNPB Lakukan Patroli di Langit Kalbar

Sejak program Destana masuk ke Kalurahan Karangwuni, masyarakat berangsur-angsur memahami adanya potensi ancaman bencana dari laut selatan. Kabar baiknya, masyarakat kini sudah semakin memahami bagaimana konsep hidup berdampingan dengan alam di mana di dalamnya ada konsekuensi besar yaitu potensi risiko bencana.

Pada hari Kamis (27/6), Letjen TNI Suharyanto S.Sos., M.M., yang membawa bendera BNPB mendatangi Kalurahan Karangwuni untuk memastikan bahwa kesiapsiagaan masyarakat yang telah dibentuk melalui program Destana masih terjaga dengan baik.

Sumber: