Kesedihan Prabowo Subianto dan Tantangan Redistribusi di Indonesia

Kesedihan Prabowo Subianto dan Tantangan Redistribusi di Indonesia

--

Bagaimana daerah-daerah lainnya yang jauh dari ibukota?

BACA JUGA:Pemkab Karanganyar Bagikan Pompa Air 41 Buah Untuk Petani dan Kelompok Tani

 

2. Badan Urusan Makan Siang Gratis. 

Dari 340 program Prabowo ke depan, ada 17 program prioritas dan kemudian 8 program cepat terpadu, salah satunya makan siang gratis. Pada bulan Mei ditargetkan setiap kabupaten memiliki satu pilot projek. Diharapkan dari 41.000 dapur untuk melayani 83 juta orang miskin, akan terealisasikan 10.000 dapur tahun 2025.

Menurut Burhanuddin, pemerintah Prabowo akan membuat badan baru menangani makan siang gratis ini. Prabowo menolak program ini dimasukkan ke kementerian yang sudah ada. Sebab, program ini, selain membentuk generasi unggul, juga dipastikan akan terjadi perputaran ekonomi lokal. 

3. IRS (Badan Pelayanan Pemasukan Negara).

Untuk pembiayaan makan siang gratis dan program kesejahteraan lainnya, menurut Burhanuddin, pendapatan negara harus ditingkatkan. Kementerian keuangan direformasi. Bagian penerimaan dipisah menjadi IRS. Bagian pengeluaran disatukan dengan Bappenas RI. 

Tax, Ratio   Indonesia, katanya, tidak pernah berkembang. Padahal GDP kita mengalami kenaikan 5% setiap tahun. Rerata Tax Ratio kita hanya di bawah 10%, sedangkan anggota G20 rerata 25-30%. Kita cuma bangga pamer besaran GDP "double" dan GDP kita nomer 16 terbesar di G20, sebuah kebanggaan semu. Bahkan, "spending" pemerintah terhadap GDP pun hanya 17%, kalah jauh di bawah Turki 28%.

4. Pangan, Energi dan Manufaktur

Fokus pemerintah Prabowo lainnya ke depan, menurut Burhanuddin, pada 3 sektor utama, yakni pangan, energi dan industri. 

Sejak Frans Seda menulis di koran tentang "Beras dan Minyak", tahun 1962, kata Burhanuddin, masalah yang kita hadapi tidak berubah, yakni kelangkaan beras dan minyak. Bangsa Indonesia senang dengan memelihara masalah, bukan menyelesaikannya. 

Saat ini kita gila impor beras dan minyak. Swasembada pangan gagal, swasembada energi gagal dan manufaktur kontribusinya pun (18%) jauh dibandingkan era Suharto (29-30%). Padahal angka 30% itu merupakan syarat menuju negara industri. 

Melihat potensi yang ada dan berfikir realistis, menurut Burhanuddin, fokus utama adalah "food estate", berbasis pada 10 juta sawah dan 4 juta ladang. Kita harus memacu pencapaian swasembada pangan dengan kepastian swasembada air. Di bidang energi, katanya, B40 atau B50 harus dicapai, agar impor minyak dapat ditiadakan. Dalam bidang manufaktur harus dipercepat relokasi industri dari China. Kita tidak boleh bersaing dengan China, karena kemungkinan kalah kompetitif, katanya. Selain itu program hilirisasi harus dipercepat.

5. Sektor Informal.  Darwin Z. Saleh mengatakan bahwa terjadi penambahan 15 juta orang bekerja di sektor informal di era Jokowi. Di era SBY hanya 3 juta jiwa. Artinya, pembangunan ekonomi saat ini tidak mampu menyerap pertumbuhan tenaga kerja. 

Sumber: