10 Tahun UU Narkotika, Momentum Revisi Kebijakan Narkotika
Jakarta, Aktual News-Ada apa tentang UU Narkotika 10 tahun berkiprah apa dan bagaimana implitasi dampak yang terjadi ? Ini kupasannya dikutip dari pusat siaran pers, Kamis 27/6/2019. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM ) mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2019 ini menandakan 10 tahun sudah UU Narkotika diimplementasi di Indonesia dan banyak dampak buruk yang tercipta. Pertama, pasal-pasal pemidanaan yang terus digunakan untuk memenjarakan pemakai narkotika haruslah segera dihapus. Desember 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika. Jumlah ini mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203%. Kriminalisasi pemakaian narkotika justru melahirkan persoalan baru, yakni: menambah beban lapas sehingga negara harus mengeluarkan uang ratusan milyar untuk membiayai makan narapidana-narapidana yang melakukan tindak pidana non-violent; menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; memperburuk situasi kesehatan di lapas; dan hanya menguntungkan oknum penegak hukum yang korup. Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR agar mendekriminalisasi penggunaan, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas untuk konsumsi pribadi agar menegaskan komitmen negara dalam meletakkan pemakai narkotika sebagai manusia yang dapat memperoleh dukungan kesehatan dan layanan psikososial. Kedua, kami juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika agar Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan medis. Masih segar di ingatan kita bahwa pada 2017, Fidelis Ari harus mendekam di penjara karena mengobati istrinya Yeni Riawati, yang kemudian meninggal dunia, dengan ekstrak ganja. Penyediaan pengobatan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara malah menjadi sebuah tindak pidana karena regulasi yang tidak mengimani hak asasi manusia. Sebagai perbandingan saja, Thailand dan Korea Selatan sudah mulai menerapkan kebijakan ganja untuk kepentingan medis. Selain itu, sudah banyak studi internasional yang menunjukkan manfaat kesehatan dari narkotika golongan I seperti opium, MDMA, dan psilosibin. Pemerintah Indonesia seharusnya bersikap terbuka dan tidak paranoid terhadap perkembangan ilmu kesehatan dan kebijakan narkotika. Ketiga, kami juga mendorong agar Pemerintah melakukan moratorium hukuman mati pada kasus narkotika. Tiga gelombang eksekusi yang telah membunuh 18 orang mendapatkan banyak kritik dari dunia internasional. Eksekusi mati juga tidak pernah terbukti menurunkan tingkat pemakaian dan peredaran gelap narkotika. Pemerintah Indonesia hendaknya mengikuti Malaysia yang sudah melakukan moratorium hukuman mati baru-baru ini. Dari sana, kita harapkan Pemerintah akan lebih berkonsentrasi mencari solusi yang memang menyasar masalah bukannya berpaling pada unjuk kekuatan yang tak menyelesaikan apapun seperti hukuman mati. Seiring dengan seruan perubahan tersebut di atas, LBHM dan kelompok masyarakat lain yang peduli pada perubahan kebijakan narkotika yang lebih humanis menyelenggarakan aksi damai, Selasa kemarin 25 Juni 2019, di Taman Aspirasi (depan Istana Negara). Sayangnya, baru berjalan satu jam, aksi damai tersebut yang rencananya diisi dengan pembacaan puisi dan penyalaan lilin untuk refleksi, dibubarkan paksa oleh polisi dengan alasan ketiadaan izin. Padahal hukum hanya mensyaratkan pemberitahuan kepada polisi – sebuah syarat yang telah kami penuhi dengan mengirimkan pemberitahuan kepada Polda Metro Jaya H-7. Di saat pembubaran dilakukan, Kepolisan juga melakukan penangkapan dan penggeledahan sewenang-wenang pada staf kami dan peserta aksi. Salah seorang oknum Polisi menekan massa aksi dengan mempertanyakan, “Mau jadi apa kalian memperjuangkan narkoba?” Padahal yang kami perjuangkan adalah bagaimana masyarakat bisa hidup lebih baik dengan kebi jakan narkotika yang berakal sehat, humanis, dan berbasis bukti ilmiah. Pembubaran terhadap aksi damai ini jelas tindakan represif pada upaya masyarakat yang menyampaikan aspirasi, yang dilindungi oleh Konstitusi – sesuatu yang penting mengingat sudah 10 tahun UU Narkotika memberikan dampak buruk pada masyarakat. Berubah tak mau, protes pun tak boleh. Mau sampai kapan Undang-Undang dan cara berpikir seperti ini kita pertahankan? Sudah waktunya Indonesia menghentikan kebebalan ini dan terbuka pada perubahan. [ Red/Akt-01 ] Aktual News Ricky Gunawan. Direktur LBHM, Untuk informasi, dan konfirmasi, hubungi : +62 812-1067-7657. sumber pusat siaran pers
Sumber: