Nelayan Lobster Resah, Ketum PWDPI Desak KKP Segera Beri Kepastian Izin BBL

Nelayan Lobster Resah, Ketum PWDPI Desak KKP Segera Beri Kepastian Izin BBL

--

Jakarta, AktualNews-Ratusan ribu nelayan yang tergabung dalam Forum Koperasi dan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Benih Bening Lobster (BBL) Indonesia menyatakan kekhawatiran serius atas rencana revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7 Tahun 2024.

Kekhawatiran tersebut disampaikan sejumlah Ketua Koperasi Nelayan Lobster kepada Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI), M. Nurullah RS, dalam diskusi daring melalui Zoom pada Minggu malam (22/12/2025).

BACA JUGA:Nelayan Diminta Tunda Mencari Ikan,Saat Kondisi Cuaca Ekstrem Danau Toba

Dalam keterangannya, Nurullah menyampaikan bahwa terdapat delapan poin krusial yang menjadi pokok diskusi dan mencerminkan kegelisahan mendalam para nelayan lobster di berbagai daerah.

Pada poin pertama dan kedua, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelumnya menyebutkan bahwa Permen KP 7/2024 bertujuan mengoptimalkan pengelolaan lobster secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi nelayan kecil, termasuk melalui skema alih teknologi dengan investor.

“Jika terjadi perubahan filosofi yang signifikan dan manfaat bagi nelayan justru hilang, tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Padahal sejak awal, peraturan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan,” ujar Nurullah.

Poin ketiga menyoroti masih maraknya penyelundupan BBL, meski beberapa kasus berhasil digagalkan aparat penegak hukum, seperti di Cilegon dan Juanda. Menurutnya, realitas tersebut menimbulkan kekhawatiran akan lemahnya pengawasan dan tata kelola.

“Ini menunjukkan perlunya sinergi yang lebih kuat antar lembaga agar praktik ilegal benar-benar bisa ditekan,” katanya.

Pada poin keempat, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) dinilai belum memiliki kejelasan fungsi dan peran. Jika Satgas bertujuan memperkuat penegakan hukum, maka hal itu positif. Namun sebaliknya, jika dianggap sebagai pelimpahan tanggung jawab, justru menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan nelayan.

Poin kelima membahas keterkaitan kebijakan BBL dengan perjanjian internasional yang dimiliki Indonesia. Pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berpotensi berdampak diplomatik, sehingga regulasi harus selaras dengan komitmen global.

Selanjutnya pada poin keenam, KKP menyebutkan bahwa peraturan ini mendorong alih teknologi guna mengembangkan budidaya lobster dalam negeri. Namun jika semangat tersebut tidak tercermin dalam implementasi, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh.

Pada poin ketujuh, Nurullah mengaitkan kebijakan ini dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan ekonomi biru sebagai salah satu prioritas nasional. Menurutnya, perubahan Permen KP perlu dikaji apakah sejalan dengan visi ekonomi biru tersebut.

“Perlu pembandingan yang jelas antara isi regulasi dengan tujuan besar pembangunan ekonomi biru,” ujar Nurullah, yang juga menyebutkan bahwa PWDPI kini telah memiliki kepengurusan di 30 provinsi dan menaungi lebih dari 1.000 media.

Sementara pada poin kedelapan, disoroti penghentian izin penangkapan BBL bagi nelayan serta kerja sama (PKS) dengan BLU yang ditinggalkan tanpa mempertimbangkan dampak kerugian.

Share
Berita Lainnya