Ahmad Husni Mubarak: Politik bukan tempat para dewa
Ahmad Husni Mubarak, Aktivis Muda NU --
Tangerang, AktualNews - Politik bukan hanya urusan parlemen atau partai. Politik adalah urusan hidup sehari-hari. Begitulah pesan Tan Malaka hampir seabad lalu. Namun kini, gema seruan itu terdengar sayup nyaris hilang ditelan kebisingan Politik yang kian pragmatis. Dulu, Politik menjadi jalan perjuangan dan panggilan pengabdian. Sekarang, ia sering kali sekadar menjadi panggung kepentingan.
Pertanyaannya: bagaimana politik kita dulu bisa begitu idealistis, dan kenapa kini seolah kehilangan ruhnya?
Jawabannya bisa kita temukan dalam sejarah. Pada masa pergerakan kemerdekaan, politik Indonesia lahir dari ruang gagasan. Tan Malaka, bersama tokoh seperti Suwardi Surjaningrat, Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Sam Ratulangi, HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Rasuna Said, menjadikan politik sebagai senjata pembebasan.
Perdebatan kala itu bukan tentang bagi-bagi jabatan, melainkan pertarungan ide dan strategi untuk merdeka. Bung Hatta menekankan bahwa tugas utama pemimpin adalah membaca perasaan rakyat, termasuk yang masih terpendam. Pemimpin harus membuka mata rakyat, menggerakkan yang pasif, dan menjadi jurubahasa aspirasi mereka.
Politik pada masa itu tumbuh dari kesadaran intelektual dan keberanian moral. Ia lahir dari gagasan, bukan sekadar transaksi.
Namun seiring waktu, wajah politik berubah. Antusiasme terhadap politik menurun, disertai nada pesimis dari masyarakat. Seorang budayawan pernah menyebut politik Indonesia kini seperti “delman tanpa kusir”: negara berjalan tanpa arah karena kekurangan pemimpin yang cakap dan berintegritas.
Ruang politik yang dulu menjadi tempat lahirnya gagasan kini sering kali berubah menjadi arena perebutan kepentingan. Reformasi yang semula diharapkan menghidupkan demokrasi, justru membuka celah bagi politik transaksional yang menggerus kepercayaan publik. Dari politik gagasan, kita meluncur ke politik dagangan.
BACA JUGA:Lagi Asik Pesta Sabu, Tiga Pria Digerebek Polsek Perdagangan
Dalam esainya Politics as Vocation (1958), Max Weber membedakan dua tipe politisi: mereka yang “hidup dari politik” dan mereka yang “hidup untuk politik”.
Yang pertama menjadikan politik sekadar batu loncatan atau tempat singgah demi keuntungan pribadi. Yang kedua melihat politik sebagai panggilan, mencurahkan tenaga dan tanggung jawab moral bagi publik. Weber menegaskan: kehormatan seorang pemimpin terletak pada tanggung jawab pribadinya atas setiap keputusan, bukan sekadar posisi yang ia duduki.
Kerangka Weber ini membantu kita membaca krisis politik Indonesia saat ini bukan sekadar soal sistem, tapi soal orientasi dan etika para pelaku politiknya.
Gagasan “hidup untuk politik” sejalan dengan seruan Tan Malaka: politik adalah urusan semua orang. Sayangnya, semangat itu kini kian memudar.
- Tag
- Share
-