Labuhan Lawu Tradisi Sakral Kembali Digelar Secara Simbolis Oleh Kraton Yogyakarta di Karanganyar

--
Karanganyar, AktualNews – Tradisi sakral Labuhan Lawu kembali digelar dengan prosesi serah terima secara simbolis Pratelan Ageman Sultan dari Keraton Yogyakarta kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Acara berlangsung di Pendopo Rumah Dinas Bupati Karanganyar, Kamis (30/01) pagi .
Pj. Bupati Karanganyar secara resmi menerima pratelan tersebut untuk selanjutnya dibawa ke Puncak Gunung Lawu.
Serah terima ini menjadi bagian dari rangkaian ritual adat yang dilakukan dalam rangka memperingati hari kenaikan takhta Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang setiap tahunnya diperingati dengan upacara Labuhan di tiga titik sakral, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.
Dalam sambutannya, Pj. Bupati Karanganyar menegaskan pentingnya kegiatan ini sebagai simbol hubungan erat antara Kabupaten Karanganyar dan Keraton Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa Labuhan Lawu bukan sekadar prosesi adat, tetapi juga momentum strategis untuk memperkuat kerja sama budaya dan sejarah antara kedua wilayah.
“Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Keraton Yogyakarta merupakan hal yang berkelanjutan, mengingat sejarah yang menghubungkan keduanya. Gunung Lawu memiliki makna khusus dalam perjalanan spiritual Sultan Hamengkubuwono X. Selain itu, Karanganyar juga memiliki peran penting dalam sejarah terbentuknya Keraton Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk terus menjaga nilai-nilai sejarah ini dan memastikan bahwa generasi penerus tetap menghargai serta bangga terhadap warisan budaya yang ada,” ujarnya.
Perwakilan dari Keraton Yogyakarta, KRT. Rinta Iswara, yang menjabat sebagai Penghageng II Kawedanan Widya Budaya, menjelaskan bahwa prosesi Labuhan Lawu adalah bagian dari tradisi Labuhan Ageng, yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali, serta Labuhan Alit, yang dilakukan secara rutin setiap tahun.
BACA JUGA:Danramil Mauk Lakukan Komunikasi Sosial kepada Nelayan Desa Lontar
Menurutnya, barang-barang yang dilabuh, seperti dodot, kening set dinggo, teluh watu, dan uborampe lainnya, memiliki makna mendalam dalam tradisi Mataram. Prosesi ini dilakukan dengan penuh khidmat dan mengikuti kaidah adat yang telah diwariskan turun-temurun.
“Labuhan ini bukan hanya sebuah upacara, tetapi juga wujud rasa syukur dan bentuk penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini memiliki makna spiritual untuk menjaga keseimbangan alam dan harmoni kehidupan. Barang-barang yang dilabuh telah disiapkan dengan cermat dan akan dibawa oleh para juru kunci menuju Puncak Gunung Lawu pada tengah malam, agar tiba di lokasi sebelum matahari terbit,” ungkapnya.
Setelah prosesi serah terima di pendopo selesai, Pratelan Ageman Sultan akan dibawa menuju Puncak Gunung Lawu oleh para juru kunci, melalui jalur Cemoro Kandang. Perjalanan ini diperkirakan memakan waktu beberapa jam hingga menjelang pagi.
Labuhan Lawu sendiri dilaksanakan satu hari setelah peringatan hari kenaikan takhta Sultan Hamengkubuwono X, yang jatuh pada 29 Rajab dalam kalender Hijriyah. Upacara ini merupakan bagian dari tradisi besar Keraton Yogyakarta yang bertujuan untuk memayu hayuning bawana, yaitu menjaga keseimbangan alam dan spiritual bagi masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Karanganyar berharap bahwa Labuhan Lawu dapat terus dilestarikan dan menjadi warisan budaya yang diteruskan kepada generasi mendatang. Kegiatan ini bukan hanya ritual adat, tetapi juga bagian dari upaya memperkuat identitas budaya dan sejarah yang telah mengakar di Tanah Jawa.***
Sumber: