Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru
Foto; Monika Maritjie Kailey--
“Alam telah menyediakan apa yang kita butuhkan setiap hari. Karena itu, banyak hal yang dilakukan masyarakat Aru untuk menjaga alam. Salah satunya, adanya aturan adat bahwa sebelum menebang pohon untuk membangun rumah, masyarakat harus menanam bibit pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang baru itu hidup, barulah mereka boleh menebang pohon,” kata Monik, yang senang membuat aksesori dari bahan-bahan alam, seperti kerang, biji-bijian, dan batu.
Yang paling penting, menurut Monik, adalah bagaimana mereka menjaga tradisi. Dari tradisi, mereka belajar tentang ilmu kehidupan yang diterapkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka sejak dulu. Dan, pesan mereka selalu disampaikan lewat tradisi.
Di kampung Monik terdapat banyak ritual adat. Setiap kali akan melakukan ritual, masyarakat diingatkan bahwa tanah ini adalah perut ibu. “Dalam bahasa Aru Selatan kami menyebutnya jina tubir. Tanah kami adalah perut ibu, yang mengandung dan melahirkan generasi hebat, yang mampu untuk menjaga tanah itu sendiri dengan pemikiran dan akal sehat. Seperti seorang ibu, tanah ini adalah provider yang memberi segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Itu berarti kita harus menjaga tanah ini sama seperti menjaga mama kami sendiri.”
Berpegang teguh pada adat
Monik berasal di sebuah kampung kecil bernama Fatlabata, bersama orang tua yang percaya bahwa adat sudah ada bahkan sebelum manusia punya agama, bahkan sebelum negara dibentuk. Terlepas dari kehidupan modern yang ia jalani, adat selalu menjadi pegangan utama. Inilah kenapa ia memperjuangkannya. Ia tidak mau generasi di bawahnya hanya mendengar cerita, tanpa melihat kenyataan. Cerita tanpa bukti, menurutnya, merupakan sesuatu yang tidak valid.
Sebuah pertanyaan selalu ia tanyakan pada dirinya sendiri. “Sebagai perempuan yang melabeli dirinya perempuan adat, dan dengan bangga menyebut bahwa saya adalah perempuan adat, apa yang bisa membuktikan dirimu sebagai perempuan adat? Saya tumbuh besar tanpa pernah melupakan adat. Berjuang untuk masyarakat adat bukan sesuatu yang ia sesali, karena perjuangan itu menyangkut kehidupan banyak orang, menyangkut rumah tempat kami tinggal,” kata Monik.
Ayahnya pernah bergerak bersama 117 kepala kampung lain dalam gerakan #SaveAru untuk menyelamatkan Aru dari rencana menghancurkan hutan dan merampas tanah masyarakat adat. Apa yang dilakukan ayahnya benar-benar memotivasi putri sulungnya. Menurut Monik, ayahnya tidak berpendidikan tinggi. Tapi, pemikirannya bagus bahwa alam merupakan provider utama. Begitulah yang diajarkan oleh leluhurnya. Maka, saya punya tanggung jawab untuk menyadarkan generasi saya.”
Ayah Monik selalu mengatakan, “Ketika kau bicara tentang Aru, dan kau berbicara yang benar tentang Aru, dan kau memperjuangkan hak-hak banyak orang, hak-hak masyarakat adat, kau tidak akan pernah mati sia-sia di tanah ini.” Kalimat pendek itu benar-benar membakar semangat Monik.
Dukungan penuh dari orang tua
Tantangan terbesar dari perjuangan Monik adalah tekanan sosial. Menurutnya, orang selalu underestimate, bahwa orang yang peduli lingkungan dan melakukan hal-hal yang tidak dibayar adalah useless. Mereka berpikir, kenapa seseorang dengan pendidikan yang bagus mau melakukan hal tersebut.
“Tapi, saya tipe orang yang berpegang teguh pada keputusan saya. Kalau saya sudah memutuskan, maka itulah yang akan saya lakukan. Orang lain boleh berpendapat, tapi sayalah yang memutuskan apa yang terbaik bagi saya. Jadi, apa pun yang dilakukan untuk menghentikan saya, semua itu akan sia-sia. Yang paling penting adalah restu orang tua. Dan, mereka memberikan dukungan luar biasa besar kepada saya,” kata Monik, sangat bangga.
Monik bersyukur karena memiliki ayah yang punya pandangan sangat jauh ke depan dan tidak pernah membatasi geraknya, meskipun pendidikan ayahnya tidak tinggi. Baginya, sang ayah merupakan pendengar yang baik, partner yang seru untuk diajak berdiskusi, terutama tentang hal-hal ‘gila’ yang ia lakukan. Sementara ibunya menjadi penopang yang paling luar biasa. Sehingga, ketika mendapatkan tantangan besar dari mana pun, Monik tak gentar karena ada orang tua yang selalu mendukungnya.
Adat patriarki yang umumnya diadopsi oleh keluarga di kampungnya tidak dialami oleh Monik. “Ayah saya selalu bilang bahwa anak-anaknya adalah perempuan-perempuan pemimpin di masa depan. Karena itu, ia tidak akan membatasi gerak mereka. Ketika saya sudah di bangku kuliah dan memikirkan tentang kata-kata tersebut, saya berpikir, wow… beruntung sekali saya punya ayah seperti dia,” kata Monik, yang tak diizinkan lagi masuk hutan oleh ayahnya.
BACA JUGA:Iwan: Sejak Harga Masih Rp 80 per Buah Tahun 1982 Saya Menjual Buah Siwolan
Monik sendiri pernah menjadi ‘anak raja’. Begitulah panggilan terhadap anak kepala desa. Sebutan yang dipandangnya sebagai tekanan, tapi di sisi lain membuat mereka punya tanggung jawab besar, karena harus menjadi contoh bagi orang lain. Karena itulah, sejak dari rumah Monik sudah dibiasakan untuk menjadi leader.
Sumber: