Aku duduk di ruang gelap, mata kuar ke jendela, tapi pikiranku jauh di tempat lain. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Tanda tangan palsu, gugat cerai, semua itu seperti kabut tebal yang menyelimuti pikiranku.
Aku tidak tahu apa yang aku inginkan. Aku hanya tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku terjebak dalam situasi yang tidak bisa aku kontrol. Aku ingin melarikan diri, tapi tidak tahu caranya.
Siti Siska Lestari, HIP, nama-nama itu seperti mantra yang membuatku bergerak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku tidak bisa berhenti sekarang.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi kebingungan masih ada, seperti bayang-bayang yang mengikuti aku kemana-mana. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, tapi aku tahu aku harus terus maju.
Aku berdiri, kaki kuar terasa berat, seperti membawa beban yang tidak bisa aku tanggung. Aku berjalan ke meja, mengambil kertas yang sudah siap. Tanda tangan palsu, gugat cerai, semua itu seperti ritual yang harus aku lakukan.
BACA JUGA:Melangkah Dalam Diam
Aku mulai menulis, tangan kuar bergetar, tapi aku mencoba menstabilkan diri. Aku menulis nama Siti Siska Lestari, dengan gaya yang tidak seperti biasanya. Aku merasa seperti orang lain, seperti aku sedang memainkan peran.
Aku selesai menulis, melihat kertas itu dengan mata yang tidak percaya. Aku telah melakukan itu. Aku telah membuat tanda tangan palsu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku tidak bisa kembali lagi.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus siap untuk apa yang akan terjadi. Aku harus siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan kuar.
Aku mengambil amplop, memasukkan kertas itu ke dalamnya. Aku menutup amplop, lalu mengambil pena untuk menulis alamat. Aku menulis alamat kantor hukum, tempat gugat cerai akan diproses.
Aku selesai, merasa seperti telah menyelesaikan misi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku telah melakukan apa yang aku pikir harus dilakukan.
Aku berdiri, mengambil amplop itu, lalu berjalan keluar dari ruangan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku harus siap untuk menghadapi apa pun.
Aku keluar dari rumah, menuju ke pos, untuk mengirim amplop itu. Aku merasa seperti sedang melepaskan sesuatu, seperti aku sedang melepaskan beban yang telah membebani aku.
Aku mengirim amplop itu, lalu kembali ke rumah. Aku duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku telah melakukan apa yang aku pikir harus dilakukan.
Aku menutup mata, mencoba tidur. Tapi pikiranku masih berputar, memikirkan apa yang telah aku lakukan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku harus siap untuk menghadapi apa pun.