“Saya percaya kemampuan diplomat kita untuk melakukan negosiasi dengan sangat baik. Di satu sisi, membuat dunia ini aman, jangan sampai ada pandemi lagi atau kalau ada pandemi lagi kita sudah siap menghadapinya, tapi di sisi lain, kedaulatan negara kita itu juga sangat terjaga,” tegasnya.
BACA JUGA:Pemprovsu Antisipasi Penularan Covid 19 Gelombang Ketiga
Kedua, negosiasi Pandemic Treaty dianggap serba tertutup tanpa partisipasi publik. Narasi ini mengkritisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lantaran negosiasi Pandemic Treaty dilakukan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Faktanya, pembahasan Pandemic Treaty melibatkan 194 negara-negara anggota WHO dan berbagai pemangku kepentingan terkait. Selain perwakilan negara anggota, proses ini juga melibatkan badan-badan PBB seperti Food and Agriculture Organization (FAO), World Organisation of Animal Health (WOAH), United Nation Environment Programme (UNEP), dan non-governmental organization (NGO) internasional.
“Semua perlu tahu bahwa sebenarnya inisiatif membuat Pandemic Agreement atau Pandemic Treaty dari Negara Anggota-anggota WHO yang berjumlah 194 negara. Saat pembahasan rancangan perjanjian berlangsung, ada perwakilan dari beberapa Negara Anggota WHO yang memimpin prosesnya,” terang Prof. Wiku.
“Jadi, yang hadir adalah seluruh Negara Anggota WHO di dalam forum tersebut dan mereka memberikan masukan, harusnya isinya seperti ini, itu namanya proses negosiasi.”
Selain itu, WHO telah menyelenggarakan dengar pendapat publik untuk menjaring masukan tambahan dari berbagai pihak. Para pemangku kepentingan yang terlibat meliputi organisasi internasional, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi filantropis, lembaga ilmiah, medis, kebijakan publik dan akademik, serta entitas lain yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan/atau keahlian yang relevan.
Ada pula narasi yang mempertanyakan alasan rancangan atau draf Perjanjian Pandemi tidak dipublikasikan ke publik. Padahal, publik harus mengetahui isi pasal-pasal yang dibahas.
“Pertemuan Intergovernmental Negotiating Body yang membahas Pandemic Treaty sebagian besar bisa diakses oleh publik melalui situs WHO yang diakses di https://inb.who.int. Bahkan, drafnya pun semuanya ada di situ,” sambung Prof. Wiku.
“Di dunia digital yang makin maju, seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia bisa memonitor, bisa melihat bagaimana proses negosiasinya.
Ketiga, penerapan Pandemic Treaty di Indonesia dapat berdampak atas dilarangnya penggunaan obat herbal, jamu dan pijat sebagaimana tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berupa denda Rp500 juta.
Menanggapi narasi tersebut, Prof. Wiku Bakti Bawono Adisasmito mempertanyakan pasal dalam UU Kesehatan yang menyebutkan denda larangan obat herbal. Ia menegaskan, rancangan Pandemic Treaty itu tidak memuat pasal yang mengatur tentang denda terkait larangan penggunaan obat herbal.
“Kita harus cermat, pasal berapa di UU Kesehatan yang dimaksud denda tersebut. Apabila dikaitkan dengan rancangan Pandemic Treaty, di pasal mana yang ada denda larangan obat herbal? Tidak ada itu,” kata Prof. Wiku yang pernah menjabat juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga telah mengklarifikasi bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memuat ketentuan tentang denda Rp500 juta untuk penggunaan obat herbal, jamu, bekam, dan pijat.
Narasi lain yang beredar menyebutkan bahwa denda larangan obat herbal tercantum dalam Pasal 446 UU Kesehatan. Namun, faktanya, Pasal 446 UU Kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah.
Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Setiap Orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaan upaya penanggulangan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”