Praktisi Hukum Ibukota Dorong Tuasikal Lapor Penerbitan Hak/SHM pada E-986 di Ambon

Praktisi Hukum Ibukota Dorong Tuasikal Lapor Penerbitan Hak/SHM pada E-986 di Ambon

Maluku, Aktual News- (Sambungan – Bagian ke-2)
Media ini sebelumnya telah menayangkan hasil wawancara dengan salah seorang praktisi hukum ibukota, Soraya Dharmawaty, tentang kemelut yang timbul dalam peruntukan tanah negara bekas eigendom 986 di Kota Ambon (Baca Berita : Praktisi Hukum Ibukota Dorong Kapolda Maluku Usut Penerbitan Hak/SHM pada E-986 di Ambon, edisi 9/8). Tayangan ini kembali mengetengahkan sambungannya, yang merupakan bagian ke-2 atas rangkaian hasil wawancara tersebut.
T : Bagaimanakah halnya apabila sesuatu persil eigendom disebut “tanah negara” padahal Grosse Acta dan Meetbrief berada ditangan ahli waris pemilik-asal atau keturunannya atau seseorang yang dikuasakan ditambah pula ada SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanahred), sedangkan sebaliknya pihak BPN nyata-nyata tidak mampu mengajukan sesuatu bukti otentik lainnya ? J : Mungkin saja pada saat penetapan persilnya sebagai produk-penghapusan saat berlakunya UU No. 1 tahun 1958 dahulu itu bukti-bukti surat seperti Grosse Acta dan Meetbrief belum sempat ditarik misalnya karena pemilik-asal mungkir tak mau menyerahkan atau tinggal di alamat yang jauh sulit dijangkau apalagi saat itu sarana komunikasi dan lalu-lintas angkutan masih jauh dari pada cukup, akan tetapi paling tidak, SKPT merupakan bukti otentik yang memberikan penegasan sekaligus peneguhan, bahwa persil bekas hak barat sebagaimana dimaksud dalam akta menurut luasnya pada meetbrief tidak masuk dalam daftar penghapusan tanah partikulir tahun 1958, malah sebaliknya telah terdaftar dengan hak milik menurut perintah psl 23 ayat (1) UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 sesuai tata-cara yang diatur dahulu dalam PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang sekarang telah digantikan dengan PP No. 24 tahun 1997. T : Yang terjadi dengan eigendom 986 di Kota Ambon, BPN tetap bersikeras seolah-olah persil itu sudah berstatus tanah negara, tetapi pada berbagai kesempatan klaimnya ini dinyatakan tidak bisa dibuktikan, antara lain dalam satu perkara di PN Ambon dan dalam Investigasi Ombudsman RI Perwakilan Maluku. Apa komentar anda ? J : Hukum pembuktian yang diatur dalam psl 163 HIR/263 RBg seperti disebut tadi, diatur pula dengan norma yang sama pada psl 1865 KUHPerdata/BW. Intinya adalah, barang siapa yang menyatakan berhak atas sesuatu benda atau barang, maka hukum membebaninya dengan beban kewajiban pembuktian. Oleh karena itu, dalam praktek ketatanegaraan hukum tak boleh membenarkan barang siapa pun yang menuntut seakan-akan ada hak atas sesuatu barang atau benda tetapi mengabaikan kewajiban pembuktiannya, apalagi bila ternyata ada pihak lain sama-sama menyatakan mempunyai hak atas barang atau benda yang sama dan klaim pihak lain ini didukung bukti-bukti cukup. Membenarkan klaim hak yang tidak didukung bukti, apalagi sebaliknya menolak klaim hak yang didukung bukti, malah mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum dengan efek psychologis yang kompleks, setidak-tidaknya sangat potensial mencabik-cabik rasa keadilan publik. Mungkin bisa lain apabila BPN mampu membuktikan SKPT itu ternyata tidak benar atau palsu, tetapi itu pun, harus bisa diiringi dengan menunjukkan bukti-bukti minimal berupa surat keputusan Penetapan Obyeksurat keputusan Pemberian Ganti-Rugi apakah berupa uang atau sebagian tanah itu dan Tanda-Bukti Pembayaran/Pemberian Ganti-Rugi. Arsip bukti-bukti yang disebut terakhir ini kan milik BPN dan disimpan sendiri oleh BPN pula, maka oleh karena itu akan menjadi naïf kalau ASLInya tak bisa ditunjukkan. Kebalikan dari pada itu, kalau ternyata bukti-bukti minimal ini pun tidak ada atau tidak dapat ditunjukkan malah sebaliknya bukti-bukti utama seperti Grosse Acta dan Meebrief masih dipegang oleh ahliwaris pemilik-asal apalagi didukung dengan SKPT, maka dapat dipastikan persil itu tidak dihapus atau diputus haknya dari Pemilik-Asal pada saat UU No. 1 tahun 1958 dinyatakan berlaku dahulu. T : Nah, kembali kepada soal persil eigendom secara umum yang telah berubah statusnya menjadi “tanah negara” saat berlakunya UU No. 1 tahun 1958, apakah tanah-tanah negara bekas hak barat itu dapat dibagi-bagikan atau diberikan hak secara bebas bagi semua orang tanpa kecuali ? J : Tidak seperti itu juga. Sebab walau pun statusnya “tanah negara”, namun secara spesifik UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 menentukan tanah eigendom sebagai obyek landreform yang diredistribusikan dengan status “hak milik” bagi masyarakat WNI lebih khusus “kaum tani” yang tidak memiliki tanah lahan pertanian atau hanya memiliki tanah lahan pertanian yang luasnya di bawah 1 Ha, sedangkan tata-cara serta syarat-syaratnya diatur dalam PP Nomor 224 tahun 1961 yang kemudian telah diubah dengan PP No. 41 tahun 1964. Bila dilihat dari PP No. 224 tahun 1964, peruntukan persil-persil tanah eigendom yang dilikwidasi atau yang kena penghapusan haknya dari pemilik-asal ini justru dikhususkan bagi golongan petani dengan memberikan prioritas bagi dari para-Petani Bekas Penggarap tanah itu dan Buruh Tani Tetap yang dahulu bekerja dengan mendapat upah dari Bekas Pemilik, baru disusul golongan tani lain-lainnya termasuk Petani Pemilik Tanah yang luas pemilikannya kurang dari 0,5 Ha. Itu pun dalam ketentuannya pada psl 9 dikhususkan bagi Petani yang berdiam di Kecamatan di mana terletaknya masing-masing persil. Selain itu, luas pemberian “hak milik” bagi tiap orang tidak lebih 2 hektar atau 20.000 m2 dan juga diiringi dengan kewajiban agar diolah sendiri secara lestari sebagai lahan pertanian. T : Bagamanakah halnya kalau ternyata ada tanah negara bekas eigendom yang diterbitkan hak milik atau sertifikat hak milik bagi seseorang yang bukan Bekas Penggarap atau Golongan Tani lain-lain yang disebutkan tadi dan juga ada yang luasnya melampaui 2 (dua) hektar ?
J : Jika benar ada pemberian hak milik yang diatur dalam sertifikat hak milik atas tanah negara bekas eigendom ternyata kepada seseorang yang bukan kepada petani Bekas Penggarap atau lain-lain Golongan Tani sebagai telah ditentukan atau juga bila ternyata tanah yang diberikan hak itu melampaui luas 2 hektar, berarti ada penerbitan keputusan oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang dengan menyimpangi atau melangkahi batas-batas wewenangnya yang telah diatur menurut ketentuan perundang-undangan, yaitu dalam PP No. 224 tahun 1961 yuncto PP No. 41 tahun 1964 yang berinduk pada UU No. 5 tahun 1960. Sebab singkatnya, tanah negara bekas eigendom menurut UU No. 5 tahun 1960 adalah obyek landreform, yang peruntukannya menurut PP No. 224 tahun 1961 khusus bagi para-Petani bermula Bekas Penggarap dan Buruh Tani yang semula bekerja para Bekas Pemilik dengan menerima upah, itu pun dengan luasnya tidak lebih dari 2 hektar atau 20.000m2. [ Red/Akt-13 ]
Munir Achmad Aktual News
(Bersambung)
Foto : SORAYA

Sumber: