Bebarapa Faktor Penghambat Kesejahteraan Petani
Kadis pertanian Labuhanbatu Agus Salim Ritonga bersama Dandim 0209lb saat panen raya di bilahilir. Aktual News- Salah satu masalah utama dalam pertanian di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat kesejahteraan petani. Rata rata pendapatan perkapita di sektor pertanian sangat jauh dibawah rata rata pendapatan di sektor lain, khususnya sektor pertambangan dan jasa. Oleh sebab itu, pertanian belum menjadi sektor usaha yang menarik untuk ditekuni. Banyak petani yang menekuni sektor pertanian karena terpaksa dan tidak punya pilihan lain. Kondisi ini tentunya sangat berpengaruh pada tingkat produktifitas sektor pertanian yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada total produksi pangan nasional. Rendahnya kesejahteraan petani ini menurut Kadis pertanian labuhanbatu Agus ritonga dikarenakan rendahnya nilai tambah produk yang dinikmati oleh petani. Petani menjual produk pertanian hasil panen begitu saja. Banyak petani menjual hasil pertanian, misalnya padi, ketika masih berada di sawah. Proses pemetikan hasil petanian dan pasca panen seperti proses pengeringan, proses penggilingan, proses pengemasan dan proses penjualan kepada konsumen sering kali dilakukan oleh pihak lain. Padahal, nilai tambah yang besar berada pada proses pasca panen dan proses penjualan ini. Sementara risiko kegagalan usaha lebih banyak berada pada proses penanaman dan budidaya di lahan pertanian. Jadi, petani mendapatkan nilai tambah yang kecil dalam waktu lama dari penyiapan lahan sampai masa panen namun menanggung risiko kegagalan panen karena berbagai sebab. Dalam kondisi demikian sulit diharapkan petani mendapatkan kesejahteraan. Bahkan, di beberapa daerah, keterbatasan di bidang modal memaksa petani tergantung pada pihak lain dalam penyediaan input pertanian seperti bibit dan pupuk dan membayarnya dengan produk yang dihasilkan. Penyebab Petani mendapatkan nilai tambah yang kecil dari nilai produk pertanian. Kondisi ini disebabkan petani memiliki beberapa keterbatasan untuk mendapatkan nilai tambah dalam rantai nilai produk pertanian. Pertama, keterbatasan modal. Untuk mengelola hasil pertanian diperlukan sarana dan fasilitas dengan nilai investasi yang tidak kecil. Untuk pengolahan padi, misalnya, diperlukan fasilitas pengeringan, penggilingan dan penyimpanan. Di tengah keterbatasan akses petani kepada sektor keuangan, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menjual padi saat masih di lahan pertanian kepada para tengkulak. Para petani tidak memiliki lahan yang cukup untuk mengeringkan padi yang mereka hasilkan. Lebih lagi ketika musim hujan dan sinar matahari tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, maka diperlukan fasilitas pengeringan tambahan. Kedua, keterbatasan kemampuan tata kelola. Untuk mengelola sebuah proses produksi, diperlukan kemampuan tatakelola yang memadai. Sebagian besar petani mendapatkan pengetahuan dan pengalaman pengelolaan sektor pertanian melalui pewarisan turun menurun. Mereka memiliki kemampuan terbatas terhadap tata kelola yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan efisiensi dan meraih nilai tambah. Sementara itu, proses pasca panen, lebih-lebih lagi proses untuk skala besar, diperlukan tata kelola yang baik agar diperoleh hasil yang maksimal. Misalnya, dengan keterbatasan fasilitas yang ada dan situasi cuaca yang kadang kurang mendukung, diperlukan pengaturan jadwal yang baik dalam proses pemetikan sampai dengan penggilingan padi. Di dalamnya diperlukan pula perhitungan kapasitas fasilitas atau peralatan masing-masing proses sehingga seluruh proses dapat dilaksanakan secara efisien. Kerusakan produk yang terjadi pada saat proses pasca panen dapat pula dikurangi dengan tatakelola yang baik. Demikian juga dalam menjaga kualitas produk yang dihasilkan agar memiliki daya saing. Ketiga, keterbatasan informasi. Nilai tambah sangat ditentukan oleh besaran nilai atau harga input yang harus dikeluarkan serta besaran nilai atau harga output yang dihasilkan. Untuk itu, dalam memaksimalkan nilai tambah yang diperoleh, diperlukan analisis yang matang berdasarkan informasi untuk masing-masing output yang dikeluarkan. Misalnya, petani kurang memiliki informasi terhadap harga gabah kering, harga beras dalam karung dan harga beras dalam kantong plastik. Jika memiliki informasi yang lengkap untuk tiap-tiap input, dengan didukung dengan kemampuan manajemen, mereka dapat menghitung nilai tambah untuk tiap jenis output yang dapat mereka jual. Selanjutnya mereka dapat memilih jenis output yang dapat memberikan nilai tambah tertinggi. Termasuk ke dalam informasi adalah pemahaman terhadap tren atau kecenderunga fluktuasi harga produk pertanian yang sering terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Keempat, keterbatasan dalam pemasaran. Petani memiliki keterbatasan akses terhadap pasar hasil pertanian. Petani sering dihadapkan pada kondisi “tidak ada pilihan” dalam menentukan jenis produk yang akan mereka lepas. Untuk produk padi, misalnya, mereka tidak dapat menjual dalam bentuk beras karena keterbatasan terhadap akses pasar beras. Oleh sebab itu, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menjual dalam bentuk padi ketika masih di sawah. Di Jepang, petani berhasil memperoleh nilai tambah dari produk pertanian dengan baik. Oleh sebab itu, petani jepang memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif baik. Mereka didukung oleh sarana pertanian yang memadai dalam pengolahan lahan pertanian serta didukung pula oleh fasilitas pengolahan hasil pertanian dengan baik pada proses pasca panen. Mereka pun mampu menjual hasil petanian, misalnya beras, melalui internet ke seluruh negeri. Beberapa sentra penghasil beras, yang terkenal dengan kekhasan kualitas serta rasa berasnya, dapat menawarkan produk melalui penjualan langsung ke seluruh negeri sakura tersebut. Demikian juga para petani penghasil ume. Bagaimana ini dapat dilakukan? Salah satu kunci keberhasilan tersebut terletak pada koperasi pertanian yang ini mendukung petani di berbagai sisi, baik dari sisi teknis budidaya, sisi tata kelola, akses permodalan dan bahkan sampai dengan kebijakan sektor pertanian yang lebih berpihak kepada petani. Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh para petani jepang dapat dibantu melalui lembaga koperasi ini. Bahkan beberapa koperasi petani bukan sekedar meyediakan fasilitas pengolahan pasca panen, namun mereka mampu mengembangkan produk-produk baru. Ume adalah semacam buah dengan rasa asam yang khas, sebelumnya hanya dikonsumsi untuk menambah cita rasa saat makan nasi. Ume tersebut telah dikembangkan menjadi berbagai jenis produk yang dapat dinikmati masyarakat seperti jus, ekstrak ume, permen karet dan sebagainya. Hasil pengembangan produk tersebut selanjutnya dapat dipasarkan ke seluruh negeri dengan memanfaatkan kemampuan JA dalam memasarkan produk ke konsumen baik secaralangsung maupun melewati jalur distribusi retail yang ada. Dalam pemberdayaan petani, JA diantaranya memainkan peran sebagai berikut. Membantu petani dalam pemanenan, pengolahan, penyimpanan dan penjualan produk pertanian Membantu petani dalam pengelolaan usaha tani, teknologi dan informasi pertanian. Membantu petani dalam penyediaan bahan, sarana dan peralatan pertanian Membantu petani dalam akses terhadap permodalan. Mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan yang berpihak kepada sektor pertanian dan petani. Secara kelembagaan, di Indonesia telah ada koperasi unit desa (KUD). Pendirian koperasi ini sebenarnya bertujuan seperti koperasi petani JA di jepang. Namun yang membedakan terletak pada berjalan atau tidaknya fungsi dan peran yang harus dimainkan. Selain koperasi unit desa, pemerintah pun telah menggulirkan kelembagaan petani yang lain seperti gabungan kelompok tani (GAPOKTAN). Petani didorong untuk mendirikan gapoktan diantaranya dengan memberikan kemudahan dalam akses terhadap subsidi sektor pertanian. Misalnya kemudahan akses kepada pupuk bersubsidi. Namun kelihatannya peran gapoktan ini pun juga masih banyak mengalami keterbatasan dan kurang maksimal. Pemerintah perlu menata ulang kelembagaan petani. Jika berpijak dari keberhasilan jepang dengan JA, maka penguatan koperasi unit desa perlu diupayakan. KUD perlu diperkuat dari berbagai sisi, termasuk sisi tata kelola dalam perencanaan, pengoperasian maupun pengawasan dan evaluasi. Perlu dibuat semacam “small success story” untuk koperasi unit desa di tingkat petani. Selain itu, perlu diperkuat pula pola koordinasi KUD di berbagai level sehingga Induk Koperasi Unit Desa dapat menjadi lembaga skala nasional yang mampu memperjuangkan nasib dan kesejahteraan petani di tingkat nasional. Di tengah dinamika sosial dan politik yang ada, semoga berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani.[ Red/Akt-01] Oleh: Usman arif Aktual News
Sumber: