Akademisi Dorong Percepatan Revisi UU Minerba
Minggu 22-12-2019,03:32 WIB
Maluku, Aktual News-Wacana revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara No. 4 tahun 2009 mendapat sambutan hangat salah seorang akademisi Unpatti Ambon, Siti Divinubun. Kandidat Doktor pada salah satu perguruan tinggi negeri di ibukota ini malah mendesak Pemerintah bersama DPR RI agar bergegas menyelesaikan revisi rancangan undang-undangnya yang sudah lama menjadi wacana ini, biar dalam waktu dekat bisa segera disepakati dan diundangkan. Asal saja sampai finalisasinya jangan sampai ada mekanisme yang terlewati atau diabaikan hingga menimbulkan kegaduhan baru di dalam masyarakat, misalnya mengenai partisipasi publik dan kajian akademis. Terkait dengan UU Pertambangan Minerba ini, para pembuat UU baik Pemerintah mau pun DPR RI atau DPD RI diharapkan jangan takut atau sungkan membuka ruang partisipasi publik dalam rancangannya agar tidak mengurangi nilai akuntabilitasnya.
Ditemui Munir Akhmad dari media ini dikediamannya dibilangan Kramat-Sentiong Jakarta Pusat, sore hari Sabtu (21/12), Divinubun lebih dulu mengulas panjang-lebar soal partisipasi publik dalam rangka penyusunan sebuah undang-undang. Dia tidak luput mengemukakan kritikannya terhadap para pembuat undang-undang yang sejauh ini terkesan setengah-hati melibatkan publik di dalam penyusunan sebuah undang-undang.
Menurut pendapat akademisi yang dikenal vokal dahulu saat melakoni perannya sebagai aktivis ini, sebagian besar penyebab timbulnya kegaduhan di dalam masyarakat pasca disahkannya sebuah undang-undang antara lain karena para pembuat undang-undang terkesan enggan membuka keran partisipasi publik, padahal keikut-sertaan atau peran-serta publik untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan telah difahami secara luas sebagai “hak”, yang memang diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 tanggal 12 Agustus 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hak itu, tambahnya, dapat disampaikan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau melalui kesempatan-kesempatan seminar, lokakarya, dan lain-lain yang diselenggarakan DPR RI. Apalagi bila dihubungkan dengan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, tambah Divinubun, pada psl 8 ayat (1) telah ditentukan peran-serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara bukanlah sekedar hak melainkan juga tanggungjawab.
Menyinggung tentang UU Minerba yang sudah lama terwacana akan direvisi, menurut dia memang sudah waktunya, karena didalam UU ini terdapat sejumlah kevacuman yang menunjukan ketidak-berpihakan para pembuat undang-undang saat itu terhadap kepentingan rakyat. Dikemukakannya salah satu kevacuman dalam UU ini yakni soal partisipasi atau peran-serta masyarakat untuk ikut mengawasi pengelolaan aktivitas penambangan. Padahal, lanjutnya, setiap aktivitas penambangan pada hakekatnya adalah pengurasan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup termasuk potensi hutan dan air dengan orientasi profit-making atau pembentukan laba bagi perusahaan, sedangkan obyek garapannya itu selalu berhubungan langsung atau setidak-tidaknya bersentuhan dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak terutama masyarakat pedesaan yang umumnya hidup bercocok tanam. Gara-gara tidak diatur seperti halnya dalam UU yang lain, masyarakat sering dilemmatis mau melaporkan atau mengadukan sesuatu peristiwa walau pun di balik itu hak serta kepentingannya terlindas, lagi pula tak jarang pihak perusahaan dibackingi oknom-oknom aparat yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum atau dengan kata lain bukan ansich menjaga kepentingan perusahaan.
Ketika diminta memberikan gambaran yang lebih detil mengenai kevacuman yang dikait-kaitkannya dengan ketidak-pedulian para pembuat undang-undang itu dahulu, Divinubun mengatakan : “Coba bayangkan, dalam UU Penyelenggaraan Negara dan UU Tipikor saja peran-serta atau partisipasi masyarakat diatur secara spesifik, demikian pula UU Kehutanan serta UU Pelayanan Publik dan UU Lingkungan Hidup. Dalam semua UU ini peran-serta atau partisipasi masyarakat diatur secara spesifik, bahkan dalam UU Tipikor yang sebenarnya tergolong sangat sensitif karena akan bersentuhan dengan kewenangan Penyidik atau pun Penuntut Umum. Anehnya lagi, karena lepas dari yang lain-lain, UU tentang Pelayanan Publik dan UU Lingkungan Hidup sama-sama ditetapkan dan diundangkan pada tahun 2009 dan dalam kedua UU ini partisipasi masyarakat diatur, sementara UU Minerba sama sekali tidak, kecuali masyarakat ditempatkan sekedar obyek belaka, yaitu tentang haknya untuk mendapat ganti-rugi”.
Dia berpendapat, karena adanya beberapa kevacuman inilah para pembuat UU perlu bergegas melakukan revisi UU Minerba, asal saja ruang-ruang vacum itu diisi secara utuh dan tanpa melangkahi tata-cara atau prosedur pembentukan sebuah UU agar akuntabilitas terjamin dan kelak seusai ditetapkan dan diundangkan tidak menimbulkan kegaduhan baru.
Untuk itu Divinubun tidak lupa menyarankan agar DPR menyelengggarakan RDPU atau seminar atau diskusi publik yang menghadirkan semua kalangan terkait. Jangan hanya menghadirkan kalangan pengusaha tambang, tambahnya, atau orang-orang tertentu yang berkedok pengamat pertambangan tetapi lebih cendrung melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan tambang, melainkan idealnya kalangan media atau jurnalis serta para aktivis atau pemerhati pertambangan yang teridentifikasi selama ini memang proaktif menyuarakan masalah-masalah atau konflik-konflik pertambangan apalagi di daerah-daerah, dan tidak kecuali beberapa perwakilan dari para korban terutama warga yang berdomisili disekeliling area penambangan yang sering menyebut dirinya ‘warga lingkar-tambang’. [ Red/Akt-13 ]
Munir Achmad
Aktual News
Foto :
SITI DIVINUBUN
Sumber: