Prabowo Subianto Absen di Sidang Gugatan Rp 5.000 Triliun soal Status Ibu Kota
--
“Konsep kembar itu bagus untuk kota wisata, tapi bukan untuk ibu kota negara. Negara hanya bisa punya satu ibu kota, satu pusat pemerintahan, dan satu dasar hukum yang tegas,” pungkasnya.
Landasan Hukum yang Dilanggar
Penggugat menilai bahwa pemerintah belum melaksanakan amanat undang-undang secara utuh, sebagaimana diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, yang menegaskan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara hanya dapat dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2022, yang memperkuat ketentuan tersebut dan memberikan dasar hukum yang lebih tegas terhadap tata cara pemindahan Ibu Kota Negara.
Pasal 4 ayat (1) huruf (a) UU IKN menegaskan bahwa pembentukan IKN tidak serta-merta mengalihkan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke IKN, sampai Keppres tentang pemindahan secara resmi diterbitkan.
Tuntutan Ganti Rugi dan Kepastian Hukum
Dalam gugatan senilai Rp 5.000 triliun, penggugat menilai adanya kerugian konstitusional dan administratif terhadap rakyat Indonesia akibat ketidakjelasan status hukum DKI Jakarta dan IKN, yang berdampak pada tata kelola pemerintahan, legitimasi lembaga negara, serta kejelasan kebijakan publik.
“Negara hukum harus berjalan berdasarkan kepastian hukum, bukan sekadar simbol politik pembangunan. Presiden memiliki kewajiban konstitusional untuk menegaskan di mana sesungguhnya Ibu Kota Negara Republik Indonesia berkedudukan,” tutup Panardan, S.H.
Penegasan Akhir
Kasus ini menjadi ujian serius terhadap komitmen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menegakkan konstitusi dan supremasi hukum.
Ketidakhadiran Presiden dalam dua kali panggilan sidang menimbulkan pertanyaan publik: apakah hukum masih berlaku sama bagi semua warga negara, atau ada pengecualian bagi penguasa?
Rakyat menunggu jawaban.
- Share
-