Media Sosial: Teman Dekat atau Musuh Dalam Selimut?
Foto: ilustrasi--
Coba jujur, apa hal pertama yang kamu buka saat bangun pagi? Bukan pintu kamar, bukan jendela, tapi... Instagram, TikTok, atau X (dulunya Twitter). Media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup banyak orang. Ia hadir di setiap momen: dari sarapan sampai menjelang tidur, dari acara keluarga sampai rapat kerja. Tapi, apakah kehadirannya lebih banyak memberi manfaat, atau diam-diam membawa dampak negatif?
Media Sosial: Jendela Dunia
Tak bisa dimungkiri, media sosial membuat dunia terasa lebih dekat. Kita bisa tahu kabar teman yang tinggal di benua lain hanya lewat satu story. Informasi menyebar cepat, inspirasi mudah ditemukan, bahkan peluang kerja pun banyak ditemukan lewat LinkedIn atau Instagram.
"Media sosial memberi ruang bagi siapa pun untuk bersuara, berekspresi, dan berjejaring," kata Anita Rahma, pakar komunikasi digital dari sebuah universitas di Jakarta. "Ini revolusi komunikasi yang tak bisa dihindari."
Bahkan dalam bidang bisnis, media sosial menjadi senjata utama. Brand kecil hingga besar berlomba membuat konten kreatif, menjalin interaksi dengan pelanggan, dan membangun citra melalui platform digital.
Tapi, Jangan Lupa Nafas
Sayangnya, penggunaan media sosial yang berlebihan juga membawa sisi gelap. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat banyak orang merasa tertinggal atau kurang berhasil hanya karena melihat pencapaian orang lain.
BACA JUGA:Letih yang Tak Sekedar Lelah: Saat Jauh dari Tuhan Membuat Jiwa Kita Renta
“Aku jadi insecure sendiri lihat orang lain liburan terus, pamer skincare mahal, atau sukses di usia muda,” ujar Lila (22), mahasiswi yang aktif di TikTok dan Instagram. “Padahal mereka nggak tahu perjuangan atau stres yang aku alami.”
Belum lagi tekanan untuk selalu tampil "baik" dan sempurna di media sosial. Banyak orang merasa harus selalu terlihat bahagia, produktif, dan estetik—padahal hidup tak selalu seindah filter Instagram.
Dopamin Instan, Dampak Panjang
Menurut penelitian dari Harvard University, media sosial merangsang otak untuk melepaskan dopamin hormon yang memberi rasa senang setiap kali kita mendapat likes, komentar, atau notifikasi. Masalahnya, ini bisa bikin candu.
“Scroll-scroll terus tanpa sadar udah satu jam lewat. Rasanya otak kayak dimanjain, tapi setelahnya malah capek dan kosong,” kata Adnan (19), seorang mahasiswa desain.
Kecanduan media sosial bisa mengganggu produktivitas, merusak konsentrasi, dan bahkan menurunkan kualitas tidur. Dalam jangka panjang, itu bisa berdampak pada kesehatan mental, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Menjadikan Media Sosial Sebagai Alat, Bukan Tuan
Kuncinya adalah kesadaran. Media sosial bukan musuh, tapi juga bukan sahabat tanpa syarat. Kita harus menggunakannya dengan bijak.
Berikut beberapa tips agar media sosial tetap sehat untuk mentalmu:
1. Batasi waktu layar
Gunakan fitur Screen Time atau Digital Wellbeing di ponsel untuk mengontrol durasi pemakaian.
2. Kurasi konten yang kamu konsumsi
Unfollow akun yang bikin kamu merasa tidak nyaman atau insecure. Follow akun yang memberi nilai positif.
3. Jangan bandingkan hidupmu dengan highlight orang lain.
Ingat, media sosial adalah panggung, bukan kehidupan nyata. Semua orang memilih apa yang ingin ditampilkan.
4. Gunakan untuk berkembang, bukan terjebak
Ikuti akun edukatif, komunitas positif, atau bahkan kelas online yang membangun skill kamu.
5. Ambil jeda digital jika perlu
Istirahat sejenak dari dunia maya bisa menyegarkan pikiran dan membantumu kembali fokus pada dunia nyata.
Kembali Pada Diri Sendiri
Media sosial adalah alat. Ia bisa jadi jembatan untuk tumbuh, tapi juga bisa jadi jebakan jika tak digunakan dengan sadar. Jangan sampai kita tenggelam dalam validasi digital dan kehilangan koneksi dengan diri sendiri.
Karena pada akhirnya, hidup kita bukan tentang berapa banyak likes yang kita dapat, tapi bagaimana kita benar-benar hidup, merasa, dan tumbuh di dunia nyata.***
- Share
-