Senyum yang Mengoyak Hati

Ilustrasi/kreator dokpri/Pixabay --
Jakarta, AktualNews- Hujan baru saja reda di sudut kota Bogor, menyisakan jalanan yang masih basah dan aroma tanah yang khas. Aku melangkah perlahan di trotoar, menyusuri deretan toko yang mulai menyalakan lampu-lampu mereka. Langit yang kelabu memantulkan cahaya jingga dari lampu jalan, menciptakan suasana yang sendu.
Di sinilah aku pertama kali bertemu dengan Sinta.
Aku tidak pernah percaya pada takdir, tetapi pertemuanku dengan Sinta mengubah segalanya. Hari itu, aku duduk sendirian di sebuah kafe kecil di sudut Jalan Pajajaran. Hujan deras membuatku terjebak di dalam, menyesap kopi hitam yang mulai dingin. Aku bukan seseorang yang menikmati keramaian, tetapi di tempat itulah aku melihatnya—Sinta, dengan senyum yang anehnya menimbulkan kekacauan di dalam hatiku.
Dia duduk di meja dekat jendela, memandangi gerimis di luar dengan tatapan kosong. Ada kesedihan di sana, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum yang terlihat damai. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu tertarik kepadanya. Mungkin caranya menatap hujan, atau mungkin cara matanya berbicara tanpa suara.
Aku memberanikan diri untuk mendekat.
BACA JUGA:Kenangan Cinta dalam Secangkir Kopi
“Kamu suka hujan?” tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.
Sinta menoleh, menatapku dengan mata hitamnya yang dalam. “Hujan itu seperti kenangan,” jawabnya pelan. “Kadang datang tanpa diundang, tapi selalu meninggalkan jejak.”
Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Ada sesuatu dalam suara Sinta yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Sejak saat itu, entah bagaimana, kami mulai sering bertemu.
Hari-hari Bersama Sinta
Kami berjalan bersama di Kebun Raya Bogor, berbicara tentang banyak hal, dari impian hingga ketakutan. Aku mendengarkan cerita-ceritanya, tentang keluarganya, tentang masa lalunya yang penuh luka. Aku ingin melindunginya dari semua kesedihan itu, meskipun aku tahu aku tak pernah bisa.
“Aku lelah dengan semuanya,” katanya suatu hari saat kami duduk di bawah pohon besar di Kebun Raya. Angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambutnya yang panjang. “Terkadang aku ingin pergi ke tempat di mana tidak ada yang mengenalku.”
Aku menatapnya lama. “Kalau begitu, kita bisa pergi bersama.”
Sinta tersenyum kecil, tapi aku bisa melihat duka di baliknya. “Kamu terlalu baik,” bisiknya.
Sumber: