Keteguhan Hati di Tengah Tantangan Usia

Keteguhan Hati di Tengah Tantangan Usia

Ilustrasi/Pixabay--

Bogor, AktualNews- Tahun 2025 ini memiliki nuansa yang berbeda. Saya, Brodin, bersama dua sahabat, Lukman dan Coky, duduk bersama di sebuah kafe sederhana di bilangan Semplak, Bogor, pada Jumat sore. Suasana akrab dipenuhi dengan tawa kecil dan kenangan nostalgia, namun kenyataan usia kami yang menyentuh angka 48 tahun mulai terasa. Seorang sahabat kami yang lebih muda, Bucek, turut menemani dengan keceriaannya.

Lukman, yang dulu dikenal sebagai pria energik dan ceria, kini tampak lebih kurus dari biasanya. Dalam dua bulan terakhir, berat badannya menurun hingga 15 kilogram. Ia menceritakan kondisinya dengan nada santai, meski jelas kami tahu itu bukan hal yang mudah. Divonis menderita gagal ginjal akut stadium lima, ia harus menjalani hidup dengan banyak batasan. Minum air pun hanya sesuai jumlah yang telah ditentukan dokter, sementara makanan berminyak, gorengan, dan gula menjadi "musuh besar."

BACA JUGA:Tulisan Ini Dapat Menginspirasi

Namun, yang mengejutkan kami adalah keputusannya untuk menolak cuci darah. "Aku ingin hidup seadanya, Bro. Selama aku masih bisa berguna untuk orang lain, aku akan jalani ini dengan cara yang aku pilih," ucap Lukman sambil menatap gelas kopi di depannya. Sosok yang kini sukses di bidang public relations sekaligus pemimpin relawan sosial itu memilih menghadapi semuanya dengan keteguhan hati.

Coky, sahabat kami yang lain, juga memiliki cerita tersendiri. Sebagai jurnalis kawakan dan tokoh berpengaruh di Kabupaten Bogor, ia sibuk dengan berbagai tanggung jawab. Namun, usia mulai memberinya peringatan. Ia telah berhenti mengonsumsi gula pasir dan beralih ke pemanis buatan. "Aku harus pintar-pintar menjaga diri, guys. Kalau nggak, siapa yang akan meneruskan kerja-kerja ini?" katanya sambil tersenyum getir.

Saya, Brodin, duduk di antara mereka sambil merenung. Saya masih dengan kebiasaan lama, kopi hitam lima gelas sehari, hidup yang tidak teratur, dan hampir tidak pernah berolahraga. Di tengah kesibukan sebagai jurnalis, sering kali kesehatan menjadi hal yang saya abaikan. Melihat Lukman dan Coky, ada rasa iri sekaligus ketakutan. Mereka telah mengambil langkah untuk menjaga diri, sementara saya terus bergantung pada keberuntungan Tuhan.

Obrolan sore itu bukan hanya tentang kesehatan, tapi juga refleksi atas perjalanan hidup kami. Di usia 48, kami bertiga menyadari bahwa tubuh mulai memberikan sinyal-sinyal penting. Waktu seakan mengingatkan bahwa ada hal yang harus diubah, bahwa tanggung jawab terhadap tubuh sendiri adalah bentuk penghargaan kepada kehidupan.

"Entah berapa lama kita bisa terus seperti ini," kata Lukman dengan nada ringan, "Tapi yang penting, kita tetap bermanfaat untuk orang lain. Itu yang paling penting."

BACA JUGA:Catatan Kecil Kang Parkir

Coky dan saya mengangguk setuju. Di tengah perbedaan cerita, satu hal yang sama kami rasakan: harapan untuk tetap sehat dan berguna bagi sesama. Usia hanyalah angka, tapi cara kita menjalaninya menentukan cerita yang akan kita tinggalkan.

Dan sore itu, di kafe kecil Semplak, kami sepakat untuk terus berjuang dengan cara kami masing-masing, menjaga kesehatan, kehidupan, dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat.***

 

 

 

Sumber: