Suta Widhya : Mengapa Kita Perlu Presiden Baru Yang Membawa Perubahan?

Suta Widhya : Mengapa Kita Perlu Presiden Baru Yang Membawa Perubahan?

--

Jakarta, AktualNews -Capres Anies Baswedan pada Debat Capres yang pertama sempat melontarkan kata-kata "orang dalam" (ordal) berkali-kali. Hal itu untuk menyindir praktik tidak halal  dalam rekrutmen di berbagai instansi. 

Fenomena "ordal" adalah fenomena umum terjadi selama ini. Tanpa ada"ordal" maka urusan masuk kerja, menang tender, naik pangkat dan lainnya menjadi sulit. Dan tentu saja "ordal" tidak gratis dan harus berbayar. Karena di situ ada praktik brokerisasi yang menghilirisasi juga pada akhirnya. 

Dimulai dari "ordal" kemudian rentetan selanjutnya adalah upaya mengembalikan modal yang dikeluarkan diambil dengan cara yang tidak halal pula. Mulai dari terima suap hingga "memeras" dengan cara halus dan kasar kepada masyarakat yang butuh jasa birokrasi dan jasa aparat lainnya. 

Lingkaran setan terjadi dimana-mana. Aparat dan birokrat yang menjabat pada posisi tertentu melakukan praktik aji mumpung. Mumpung lagi berkuasa,, maka jabatannya menjadi komersial. Istilah "tempat basah" dan "tempat kering" menjadi bahasa keseharian. 

BACA JUGA:Suta Widhya: Penjajahan Masih Berlangsung Hingga Hari Ini?

Praktik "ordal" ingin dihapus oleh Capres Anies andaikan ia berkuasa. Ini sama saja bertekad melakukan revolusi birokrasi. Jelas ini melawan status quo yang berlangsung berpuluh-puluh tahun lama sejak lebih 60 tahun silam. 

Di era Orde Lama saat Soekarno berkuasa mungkin fenomena"ordal" relatif kecil, karena saat itu untuk mencari pekerjaan tidak sesulit saat rezim orde baru (Orba) berkuasa. Karena sikap materislisme, liberalisme dan kapitalisme tumbuh subur di era kemajuan saat Soeharto memimpin Orba 

Tampaknya Anies paham sekali kerinduan rakyat yang tertindas saat ini. Ia paham bagaimana praktik manipulatif berkembang biak dimana-mana. Itu sebab ia punya atensi khusus terhadap penegakan hukum dan keadilan yang tercerabut di saat Indonesia telah mencapai 78 tahun alam kemerdekaan saat ini. 

BACA JUGA:Suta Widhya: Mother Theresia Yang Ikhlas

Di tingkat paling bawah praktik tidak halal terjadi di rumah tangga. Sering kita baca mengapa ibu-ibu rumah tangga mengeluh gas melon 3 kg cepat habis. Biasanya habis dalam tempo 10 sampai 15 hari, kini 7 sampai 8 hari habis dengan aktivitas memasak yang tidak berbeda. 

"Biasa memakai gas ukuran 3 Kg mencapai 15 hari, tapi kini seminggu pun habis. Mungkin dari penyalur sudah dikurangi isi tabung. Bila benar ini menjadi tugas pihak yang berwenang untuk menertibkannya," kata Bu Mukidi. Keluhan ini karena sering terjadi dan dialami banyak ibu-ibu, maka fenomena ini dianggap angin lalu.

Sikap hidup yang mendewakan material (materialistik)dan ingin cepat kaya akhirnya mewabah dan berbiak ke seluruh sendi-sendi kehidupan. Inilah yang menjadi perhatian dari calon presiden pengusung perubahan. Ia ingin menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lebih baik.     Tegasnya, kampanye menghapus praktik "orang dalam" juga bermakna tekad  untuk menghapus praktik korupsi, praktik kolusi dan praktik nepotisme. Mampukah capres pengusung perubahan melakukan cita-cita mulia tersebut? Kita lihat saja Pilpres 14 Pebruari 2024 ini. Yang jelas fenomena pelemahan KPK telah terjadi di era Jokowi. Korupsi tetap juara bertahan di negara ini.***

Sumber: