Indeks Optimisme Anak Muda 2023: Optimis Pada Pendidikan, Tapi Masih Ragu Pada Politik dan Hukum
--
Jakarta, AktualNews - Good News From Indonesia (GNFI) berkolaborasi dengan perusahaan riset Populix untuk menghadirkan Survei Indeks Optimisme Generasi Muda 2023. Survei Indeks ini bertujuan untuk mengukur tingkat optimisme anak muda terhadap masa depan Indonesia dalam berbagai aspek, beserta berbagai alasan yang melatarbelakanginya.
Indeks ini mengungkap tingkat optimisme generasi muda terhadap lima dimensi utama, yang meliputi: Pendidikan dan Kebudayaan, Kebutuhan Dasar, Ekonomi dan Kesehatan, Kehidupan Sosial, Politik dan Hukum. Selain itu, indeks tahun ini juga menyoroti secara khusus dimensi tambahan yaitu Lingkungan dan Pemilu, yang sedang banyak menjadi perhatian umum di tahun 2023.
“Di tengah berbagai situasi yang sebetulnya wajar apabila masyarakat menjadi pesimis, kita bersyukur masih punya modal masyarakat terutama anak-anak muda yang ternyata masih optimis. Hal ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan, terutama penyelenggara negara, bagaimana modal optimisme ini digerakkan dengan berbagai kebijakan, program, dan aktivitas yang dapat menggerakkan kemajuan,” ujar Akhyari Hananto, Founder GNFI.
Jika melihat dua tahun ke belakang dengan nilai rata-rata optimisme 7,2, terlihat terjadinya pertumbuhan tingkat optimisme pada anak muda tahun ini, di mana Indeks optimisme 2023 sebesar 7,7 dari skala 10.
BACA JUGA:Berikan Proteksi Finansial, Ini 4 Hal yang Harus Dipahami Ketika Ingin Membeli Asuransi Kesehatan
Dimensi Pendidikan & Kebudayaan menduduki peringkat optimisme paling tinggi, lalu disusul dengan kebutuhan dasar, ekonomi dan kesehatan dan kehidupan sosial, Sementara pada Politik & Hukum menjadi yang terendah. Selain itu, Generasi muda di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, memiliki tingkat optimisme lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya, terutama pada aspek ekonomi, kesehatan dan kehidupan sosial.
“Hasil survei dan kolaborasi dengan GNFI ini bertujuan untuk mengetahui pendapat generasi muda tentang hal-hal yang menjadi perhatian untuk perkembangan bangsa di masa depan. Kami melihat dengan adanya bonus demografi di mana dalam beberapa tahun ke depan akan didominasi oleh generasi milenial dan juga generasi Z, hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, aspek-aspek yang harus dibenahi dan apa saja yang dapat terus didorong pertumbuhannya,” terang Timothy Astandu, CEO & Co-Founder Populix.
Berbeda dengan hasil survei tahun sebelumnya yang mendapatkan nilai tertinggi pada dimensi kebutuhan dasar, tahun ini skor tertinggi ada pada dimensi pendidikan dan kebudayaan. Dalam dimensi ini, “kuliner Indonesia dapat diterima dunia” memiliki skor tertinggi, yaitu 9,04. Lebih tinggi dibandingkan dengan keyakinan anak muda “mampu berkontribusi pada pengembangan IPTEK” yang mendapatkan skor 8,00 poin.
“Anak-anak mdua Indonesia sangat bangga terhadap budayanya, termasuk percaya bahwa kuliner kita punya potensi untuk dapat dikenal oleh dunia. Sementara di bidang IPTEK tidak seyakin itu. Mungkin, generasi muda Indonesia saat ini merasa sains kita tidak kuat dan belum mampu berinovasi. Boleh dibilang ini adalah stereotype, tapi ini menjadi persepsi anak-anak muda Indonesia dalam sektor pendidikan dan kebudayaan.” papar Timothy.
Survei ini juga mengungkapkan mayoritas responden terlihat lebih optimis dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kebutuhan gizi pada pasangan dan anak, dibandingkan pemenuhan gizi seimbang diri sendiri. Tingkat optimisme ini berbeda dengan dimensi Ekonomi & Kesehatan, di mana bagi responden mahasiswa dan yang belum bekerja, memiliki tingkat optimisme yang rendah untuk terserap di dunia pekerjaan.
“Sebagai anak muda, kami sebenarnay optimis punya kesempatan untuk berkembang. Namun tingginya optimisme ini butuh rangkulan dalam mendorong perkembangan tersebut baik dari segi pendidikan, budaya dan juga wawasan. Terutama dalam memeroleh pengetahuan dan pendidikan, kami merasa banyak akses yang bisa dimanfaatkan untuk belajar, jadi kami lebih mudah mengeksplor pendidikan secara lebih baik, untuk mengembangkan wawasan dan skill set agar bisa berkompetisi di dunia kerja maupun prestasi lainnya,” ungkap Rinaldi Nur Ibrahim, Founder Youth Ranger Indonesia, sebuah komunitas pengembangan diri yang beranggotakan ribuan anak-anak muda, terutama generasi Z.
Di sisi lain, responden merasa resah dengan kondisi media sosial, di mana etika bermedia sosial dilihat masih akan menjadi masalah di masa depan.
“Pada 2020 lalu, semua orang terpaksa hidup di ruang digital. Tidak heran kalau semua orang jadi gagap. Secara kultural, masyarakat kita secara offline bisa membangun harmoni, tetapi begitu ada ruang digital yg di dalamnya orang bisa tampil secara anonim, mereka bisa menembus ruang-ruang digital dan batas-batas kultural. Di ruang digital kita bisa jadi siapa saja, sehingga bisa menjadi sangat tidak sopan,” tutur Devie Rahmawati, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia.
Sumber: