Abdullah Umar Fayumi dan Mahar Kitab Ihya Ulumudin, Selamat Jalan Guruku

Abdullah Umar Fayumi dan Mahar Kitab Ihya Ulumudin, Selamat Jalan Guruku

--

Tangerang, AktualNews- Di malam Kamis dalam gundah awal September 2015 menuju Depok bertemu sosok yang aku sering mendengar namanya, namun aku belum pernah tatap muka secara langsung. Beliau adalah KH. Abdullah Umar Fayumi, aku memanggilnya dengan sebutan Gus Umar. Pertemuan pertama dengannya langsung tersemat dalam tentang benak untaian hikmah dari pemaknaan Ba dalam Bismillahirrahmanirrahim. Selesai kajian beliau bertanya alamat kediamanku, dan kami bertukar nomor Hp dengan pendampingnya, aku menyebutnya Le Didi.

BACA JUGA:Mubeslub IWO di Palembang, Jodhi Yudono: IWO adalah Rumah bagi Wartawan Online

Kamis pukul 13.00 WIB, Hpku berdering dari hubungan seluler Le Didi yang meminta share lokasi tempat tinggalku. Pukul 18.30 WIB mereka sampai di sebuah kampung sebelah Utara Bandara Soekarno Hatta, Rawalini Teluknaga Tangerang Banten. Ramah tamah sejenak, kami pun berbincang tentang pendiri pesantren Al-Hasaniyah, KH. Muhamad Hasan. Aku pun bercerita tentang sejarah dari leluhur kami. Lalu aku menyebut nama buyut, KH. Keming dan KH. Abdurrahim. Sontak beliau berkata "kamu jarang ziarah ke makam leluhurmu, ayo aku antar malam ini untuk diskusi dengan leluhur mu (dengan untaian tahlil tahmid)." Memang betul adanya aku jarang sekali ziarah ke makam beliau-beliau. Malam itu juga puku 21.00, beliau mengantarku ke depan gerbang maqbaroh umum. Aku jalan sendirian ke dalam maqbaroh, sedangkan mereka semua menungguku di depan gerbang. Setelah selesai ziarah, beliau memanggilku “sudah Gus?”. Jawabku "sudah." 

BACA JUGA:Kurangi Dampak Penularan, Pemko Medan Gencar Lakukan Vaksin Rabies

Dalam suasana obrolan pasca ziarah, aku bicara kepadanya: Gus, Insyaallah pada tanggal 11 Oktober 2015 aku akan melangsungkan akad nikah. Beliau tanya: “Maharnya apa?”. Jawabku “40 gram emas Gus." “Maharnya ditambah yah?” ujar beliau. Jawabku Maaf Gus, "segitu saja cukup, karena ga ada lagi Cuma segitu-gitunya." Beliau berkata "bukan menambah mahar emas." Lalu beliau berujar “Jika aku kasih saran, sampean manut yah?." “Baik Gus” jawabku. Maharnya ditambah dengan ini yah, ujar beliau sambil menunjuk Kitab Ihya Ulumuddin yang berjejer di sela-sela dinding rumahku. Mataku terbelalak sambil berkata "Engga Gus, tidak sanggup aku. Kitab itu terlalu hebat dan sakral." Jawabnya “Tadi katanya manut?." Baik gus aku terima, namun guru aku bukan hanya Gus saja, aku akan tanya kepada tiga orang guru, ujarku. Monggo Gus, ujar Gus Umar.

 

Keesokan harinya aku sowan kepada Abah Kiai Aliyudin Zein Pandawa Kresek Tangerang terkait saran di atas. Aku berkata “Abah, jika Abah bilang tidak, maka aku taqlid Abah?” Beliau menjawab “Tidak apa–apa Haji, itu bagus, tabarrukan.” Lalu aku sowan kepada Abah Basyir Nasuhi Kota untuk mendiskusikan saran Gus Umar. Aku berkata “Abah, jika Abah bilang tidak, maka aku ikut saran Abah?” Beliau menjawab “Tidak apa–apa Haji, itu bagus tabarrukan." Terakhir aku sowan kepada Guruku calon mertuaku, Abah KH. Kholili Muslih Serang, untuk minta arahan terkait saran Gus Umar. Aku berkata “Abah, jika Abah bilang tidak, maka aku ikut saran Abah?” Beliau menjawab “Tidak apa–apa Haji, itu bagus, tabarrukan.” Kemudian aku memberanikan diri untuk menghubungi beliau melalu seluler. Beliau berkata “Bagaimana Gus?." Aku menjawab dengan bahasa dari tiga guru di atas “Tidak apa–apa Haji, itu bagus, tabarrukan.” Beliau berkata “betul itu Gus, jadi bagaimana Gus?." Baik Gus, aku tambahkan maharnya dengan Kitab Ihya Ulumudin, jawabku. 

 

Barokah itu semua, Alhamdullah atas bimbingan beliau aku membuat ta’liqat kitab Kimia As-Sa’adah dan Ar-Risalah al-Laduniyah karya Al-Imam Al-Ghazali. Dua ta’liqat itu aku beri nama Suluk As-Sa’adah Ala Kimia As-Sa’adah dan (Al-Gharizah al-Kauniyah Ala Ar-Risalah al-Laduniyah). Dua Ta’liqat ini adalah murni dari pemikiran Gus Umar yang aku mengeksplornya menjadi sebuah karya. Sejatinya dua tulisan tersebut bukanlah aku, aku hanya menerima pancaran cahaya dari guru pembimbingku, sehingga jemariku tergerak menuliskan apa yang telah terpancarkan dalam benakku melalui bahasa verbal dan non verbal dari lautan ilmu Gus Umar, karena beliau adalah seorang al-Alim Al-Khabir. Aku hanyalah sebuah kancing aksesoris yang menempel di baju kebesarannya. Pada akhirnya aku memohon maaf jika dalam penulisan ini banyak sekali ditemukan kealfaan karena keterbatasanku. Selamat jalan guruku. (Mohamad Mahrusillah). ***

Sumber: