Maluku, Aktual News-Dalam kasus sengketa lahan lokasi Bandara Emalamo di Desa Wai Ipa Sanana Maluku Utara antara pemilik-lahan Tajudin Duwila bersama Marjun Umafagur Dkk selaku Penggugat melawan Bupati Kepulauan Sula, peradilan dinilai hanya laksana pembubuh stempel pembenaran belaka terhadap arogansi dan kesewenang-wenangan penguasa dalam hal ini pemerintah dan pemerintah daerah. Sebab Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Sanana yang memeriksa dan mengadili perkara ini dalam menjatuhkan putusannya kelihatan mengabaikan fakta-fakta yang semuanya terbukti selama jalannya sidang.
Kabar tentang diabaikannya fakta-fakta dan bukti-bukti dalam perkara sengketa tanah lokasi Bandara Emalamo Sanana diperoleh media ini langsung dari Tajudin Duwila, salah seorang Pemilik Lahan. Selain salah satu Pemilik-Lahan, mantan Kasat Resnarkoba pada Kepolisian Resort Kepulauan Sula di Sanana Maluku Utara ini juga merupakan kuasa dari lain-lain Pemilik-Lahan yang antara lain meliputi Hi Zainuddin Buamona dan Marjun Umafagur.
Melalui telepon selulernya dari Sanana Maluku Utara tadi pagi hari Rabu (30/7), Duwila antara lain mengatakan : “saya kecewa atas putusan perkara ini sebab fakta-fakta dan bukti-bukti nampak diabaikan, malah pengadilan terkesan hanya laksana ingin membubuhi stempel pembenaran saja, dengan kata lain sekedar membenarkan arogansi dan kesewenang-wenangan pemerintah daerah yang nyata-nyata telah merampas hak-hak warga atau setidak-tidaknya mengabaikan kewajibannya terkait hak-hak warga, padahal konon di dalam teori ilmu hukum ada sebuah adagium hukum yang mengatakan jika fakta-fakta ada bukti-buktinya maka kata-kata tak ada artinya”.
Perkara yang dimaksudkan Duwila, menurut dia, semula digelar di Pengadilan Negeri Sanana No. 8/Pdt.G/2019/PN.Snn sudah diputus tgl. 6 Mei 2020 dan telah diputus pula pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Ternate No. 23/Pdt/2020/PT.Tte tgl 7 Juli 2020.
Gugatannya ini, menurut Duwila, terpaksa dilayangkan karena nampak tidak ada iktikad baik Bupati Sula, Hendrata Tess, untuk menyelesaikan persoalan ini walau ternyata permintaan penetapan sebagai aset telah dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh Pengadilan dalam perkara terdahulu, demikian pula Ombudsman RI di Jln HR Rasuna Said Jakarta sebagai “lembaga pelat-merah yang berwenang” sudah dimintai bantuannya namun dianggap sudah cukup dengan putusan terdahulu No. 07/Pdt.G/2013/PN.Lbh tgl 12 Mei 2014 itu, tetapi tanpa menjelaskan apa alasannya.
Sebelum ini, kata Duwila lanjut, pada tahun 2013 lalu pihaknya digugat Bupati Sula yang saat itu dijabat Ahmad Hidayat Mus SE, di Pengadilan Negeri Labuha. Pada tingkat pertama, tukasnya, gugatan dinyatakan tidak diterima alias N-O (Niet Ontvankelijkeverklaarrd,red). Lebih spesifik lagi, salah satu petitum gugatan yang meminta pengadilan menetapkan Bandara Emalamo sebagai aset Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sula dalam amar putusan malah dinyatakan juga “tidak dapat diterima”.
Putusan ini kemudian sama-sama dimohon banding baik oleh Bupati Sula selaku Penggugat mau pun pihaknya selaku Tergugat tetapi Pengadilan Tinggi Ternate dalam amar putusannya hanya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Labuha, selanjutnya dimohon kasasi bersama-sama pula namun permohonan kasasi itu oleh Mahkamah Agung dinyatakan ditolak.
Permintaan agar dinyatakan sebagai aset pem-kab Sula tidak dapat diterima, tandas Duwila, sangat rasional karena memang Pem-Kab Sula tidak memiliki sesuatu “bukti surat” yang otentik untuk mendukung dalil haknya atas tanah itu, kecuali pihaknya yang memperhadapkan sejumlah bukti surat disamping Saksi-Saksi dan bukti-bukti fisik di lokasi yaitu tanaman-tanaman umur panjang disekitar area Bandara. “Pemkab Sula tidak punya sesuatu bukti surat yang otentik karena tanah itu diambil begitu saja secara merampas saat sedang dalam garapan orangtua kami saat itu, hanya sekedar ganti-rugi atas tanaman-tanaman produksi yang sedang berbuah tetapi tanah sama sekali tidak ada”, tutur Duwila tandas.
Walau pun amar putusan perkara ini menyatakan gugatan Bupati Sula tidak dapat diterima alias NO, urai Duwila menambahkan, yang berarti putusannya bersifat negatif karena belum menetapkan sesuatu status atas tanah lokasi Bandara Emalamo, bahkan permintaan penetapannya sebagai aset pemerintah kabupaten Sula pun secara spesifik dinyatakan tidak dapat diterima, tetapi ketika digugat kembali oleh pihaknya dalam perkara baru No. 8/Pdt.G/2019/PN.Snn tgl 6 Mei 2020 Majelis Hakim menyatakan gugatan itu ne bis in idem dan dalam amar putusan kembali dinyatakan gugatannya itu tidak diterima.
Ironisnya, kata dia, Hakim Banding berkewajiban memeriksa kembali perkara secara menyeluruh baik pembuktian mau pun penerapan hukumnya berpeluang menemukan adanya kesalahan hakim pertama, namun dalam putusannya No. 23/Pdt/2020/PT.Tte tgl 7 Juli 2020 hanya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sanana.
Disinilah dia melihat, nampaknya lembaga peradilan dalam melakoni perannya memeriksa dan mengadili perkaranya ini hanya laksana “pembubuh stempel”, yaitu membenarkan saja tindakan pemerintah dan pemerintah merampas dan menguasai tanah milik orangtuanya secara sewenang-wenang, tanpa mau menilai fakta dan bukti yang diajukan dalam perkara. [ Red/Akt-13 ]
Foto : DUWILA (kemeja lengan pendek putih) di Kantor Ombudsman RI Jln HR Rasuna Said Jakarta.