Tangerang, AktualNews – Tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyorot kehidupan di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Tayangan tersebut dianggap menampilkan narasi yang melecehkan tradisi serta merendahkan adab santri terhadap kyai.
Dalam tayangan yang sempat viral di media sosial itu, terdapat beberapa potongan visual dan narasi yang menyinggung kehidupan santri, seperti santri “minum susu harus jongkok”, hingga penggambaran kyai “menerima amplop” dari santri. Konten tersebut kemudian memicu tagar #BoikotTrans7 dan kecaman dari kalangan pesantren, alumni, serta masyarakat luas.
“Ini bukan sekadar persoalan tayangan, tapi tentang marwah dan kehormatan pesantren,” ujar salah satu alumni Lirboyo, melalui pernyataannya yang beredar di media sosial.
BACA JUGA:Respons Tayangan Trans7, FORSEMA PTKIS Jakarta–Banten Tuntut Media Bertanggung Jawab
Menanggapi hal ini, pihak Trans7 akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Dalam pertemuan dengan Himpunan Alumni Santri Lirboyo (HIMASAL), manajemen Trans7 mengakui adanya kelalaian dalam proses produksi dan berjanji memperbaiki tata kelola konten agar lebih sensitif terhadap nilai-nilai keagamaan.
Tradisi adab santri kepada kyai merupakan nilai mendasar dalam kehidupan pesantren. Dalam budaya pesantren, kyai bukan hanya sosok pengajar ilmu, tetapi juga pembimbing rohani yang dihormati dengan penuh ketulusan.
BACA JUGA:Padepokan Macan Putih Kemiri Rayakan Milad ke-4 dengan Semarak dan Prestasi
Santri diajarkan untuk menjaga sopan santun dalam setiap interaksi. Mulai dari menundukkan pandangan, berbicara dengan lembut, hingga mencium tangan kyai sebagai tanda hormat dan tawadhu. Tindakan itu bukan simbol perendahan diri, melainkan bentuk penghormatan terhadap ilmu dan sosok yang mengajarkannya.
“Adab lebih tinggi daripada ilmu,” begitu pesan yang sering diulang dalam lingkungan pesantren.
Nilai tersebut mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa akhlak akan kehilangan arah, sementara adab menjadi pondasi lahirnya keberkahan dalam menuntut ilmu.
Kasus ini menjadi pengingat bagi dunia media agar lebih berhati-hati dalam mengangkat isu keagamaan dan tradisi lokal. Tanpa riset dan pemahaman mendalam, pemberitaan bisa disalahartikan dan memunculkan stigma negatif terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional.
Para pengasuh pesantren berharap agar kejadian serupa tidak terulang, dan media dapat berperan sebagai jembatan pengetahuan — bukan sumber kesalahpahaman.
Sementara itu, publik juga diimbau untuk menyikapi setiap pemberitaan secara kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang belum jelas konteksnya.