Jakarta, AktualNews-Tuntutan Jaksa Peruntut umum (JPU) terhadap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia dalam perkara pengadaan dan kerugian operasional pesawat dinilai melanggar HAM. Perkara yang sama sebelumnya telah disidang, sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan azas nebis in idem, bahwa perkara yang sama tidak dapat dilakukan persidangan hingga dua kali. Dalam perkara Genosida saja azas nebis in idem masih berlaku, apalagi perkara korupsi.
Demikian di sampaikan Monang Sagala, Kuasa Hukum mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar menanggapi tuntutan Jaksa Pununtut umum di pengadilan negeeri Jakarta Pusat, Kamis 27/6/2024. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan pidana penjara selama delapan tahun kepada Ermirsyah Satar, diselain uang denda dan uang pengganti.
BACA JUGA:Andar: Hotman Layak Diproses Hukum, Tantangan Buat Polri
Seluruh fakta tentang pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 periode 2012-2014 sudah pernah terungkap dalam penyidikan di KPK tahun 2018 dan sudah diperiksa dan di sidang pada Tahun 2020 sampai 2021. Subyek dakwaan sama Locus Delicti dan Tempus Delicti ( tempat dan waktu) yang bersamaan.
Dalam sidang tahun 2020 - 2021 Emirsyah Satar Juga sudah dikenakan uang pengganti karena dianggap telah merugikan keuangan Negara, sebesar 2,1 juta dollar Singapore selain uang denda sebesar Rp 1 milyar yang telah dibayar. Bahkan dalam sidang tahun 2020-2021, 'Emirsyah juga sudah dikenakan Pasal 65 UHP tentang perbarengan atau concursus sehingga seluruh hukuman terhadap 'Emirsyah terkait peristiwa pengadaan dan kerugian operasional tersebut sudah terserap/absorpti, tidak boleh dihukum ulang.
Apalagi berdasarkan fakta persidangan terbukti bahwa hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar Dakwaan adalah salah hitung Diskon (tiket) penumpang yang seharusnya menjadi variabel pengurang digunakan menjadi variabel penambah, sehingga otomatis hasil perhitungan BPKP salah total.
BPKP juga terbukti dalam persidangan secara sengaja mengesampingkan 'fakta bahwa pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 dilakukan untuk mewujudkan Undang-undang No 17 tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, tahun 2005-2025 Pepres RI No 32 tahun 2011 tentang Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. MP3EI adalah program pemerintah yang dilaksanakan untuk mempercepat dan memperkuat pembangunan ekonomi sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis wilayah dalam enam koridor.
"Persidangan tahun 2011 Garuda Indonesia diminta untuk membantu negara membuka jalur penerbangan baru dan meningkatkan pariwisata sesuai program MP3EI, pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 yang dimiliki Garuda sangat membantu pemerintah pada saat itu. Emirsyah Satar juga terlibat aktif dalam rapat dan diskusi dengan tim MP3EI yang saya pimpin, "ujar saksi, Marie Elka Pangestu mantan menteri Pariwisata.
Selain itu terbukti juga dalam persidangan bahwa selama Emirsyah Satar menjabat sebagai Dirut Garuda selalu menguntungkan. Sekalipun operasional Bombarder CRJ 1000 dan ATR 72-600 rugi namun secara keseluruhan Garuda tetap untung, karena ada subsidi silang dari rute utama. Dukungan Garuda untuk membuka rute penerbangan baru di daerah remote yang sangat meningkatkan konektivitas dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan wujud dan fungsi sosial BUMN.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddi, Prof Juajir Sumardi menjelaskan, "jika tidak ada fakta dan perbuatan terdakwa yang baru pasca putusan (perkara di KPK) berkekuatan hukum tetap maka perkara ini nebis in idem".
BACA JUGA:Quo Vadis Indonesia: Batal Demi Hukum
Mantan Jampidus Kejagung RI, Prof Widyo Pramono, " hal ini sebagai suatu pendzoliman karena dalam perkara suap yang menjerat Emirsyah Satar di KPK terkandung unsur penyalahgunaan wewenang (pasal 3 UU Tipikor) dan kerugian negara (pasal 2 UU Tipikor) terbukti Emirsyah Satar juga di hukum untuk membayar uang pengganti sehingga perkara saat ini (2024) adalah nebis in idem," tambahnya.
'Pengadilan adalah sebagai benteng terakhir agar memberikan keputusan seadil adilnya.***