Jakarta, AktualNews-Pramoedya Ananta Toer pernah mengajarkan pada kami untuk menyebut panggilan kepada lawan bicara dengan sebutan "Bung atau bung" bukan dengan sebutan Bapak atau Pak. Mengapa demikian?
Sebutan "Bapak" tidak menempatkan diri kita sebagai setara, sederajat dan egaliter. Padahal orang yang disapa itu belum tentu cocok disebut bapak dalam perbedaan umur yang tipis atau tidak berjarak jauh. Sebutan pak atau bapak dulu lebih cocok didengar untuk penarik saldo atau delman di era pra kemerdekaan.
Budaya memanggil seseorang dengan kata "bapak" tidak ubahnya dengan budaya paternalistik. Dalam literatur tertulis bahwa budaya atau kulltur paternalistik merupakan budaya yang menggunakan hierarki secara vertikal sebagai landasan fundamental dalam hubungan antar manusia. Bahwa manusia harus bersikap sesuai dengan status dan kedudukannya dalam masyarakat, dengan analogi "bapak" dan "anak" dalam keluarga.
Paternalistik, disebut juga oleh Northhouse (1997) sebagai be- nevolent dictatorship, yaitu mengatur orang dengan cara menindas dengan kebajikan (tanpa kekerasan). Seperti yang dilansir dari buku Kamus Sosiologi (2012) karya Agung Tri Haryanto dan Eko Sujatmiko, paternalisme adalah sebagai penguasaan kelompok pendatang terhadap kelompok pribumi.
Jadi, sebenarnya menyebut "bapak" adalah contoh paternalisme atau sebuah pelestarian budaya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia. Sehingga sebaiknya bisa menyapa seorang presiden sebutan, "Saudara Presiden, apa yang telah Saudara lakukan selama Pemilu 2024 ini tidak layak. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Berdasarkan dari penjelasan definisi tersebut, paternalism principles merupakan kriminalisasi yang didasarkan pada pandangan bahwa negara bertindak sebagai pihak yang berwenang untuk membuat keputusan bagi seseorang. Mungkin sahab tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kerugian atau bahaya bagi orang tersebut.
Kesimpulannya, paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Akibatnya sebagai warga negara kita tidak merasa merdeka dalam melaksanakan pasal 28 UUD 1945, yaitu kebebasan berpendapat.
Kata “paternalisme” berasal dari kata sifat bahasa Latin “paternalis”, yang berarti “kebapaan” atau “sebagai seorang bapak”. Dasar kata ini adalah kata Latin “pater” yang berarti “bapak”. Karena itu pater- nalisme dipakai untuk setiap tingkah laku yang memperlakukan seseorang seolah-olah dia seorang anak.
Lebih lanjut, paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Paternalism tumbuh sumbur karena dipengaruhi oleh kultur feodal yang sebagian besar wilayah di Indonesia semula merupakan daerah bekas kerajaan.
Dahulu di berbagai wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan yang selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus dihormati karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat.
BACA JUGA:Bila Ingin Tahu Kadar Kepemimpinan Seseorang, Lihatlah Para Pendukung dan Orang Sekitarnya
Tidak bisa dielakkan bahwa budaya birokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa yang hirarkis dan tertutup yang menuntut seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat.
Pada budaya Jawa terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan. Perlindungan yang diberikan oleh atasan atau pimpinan berwujud status dan pangkat, yang kedua atribut tersebut merupakan hak istimewa bagi seorang bawahan yang kemudian menentukan status sosial seseorang di mata masyarakat.
Dari segi budaya saja bangsa ini belum berdaulat dalam budaya? Bagaimana meraih kedaulatan dalam politik dan ekonomi, karena para "bapak" yang berkuasa saat ini merasa sebagai majikan dari rakyatnya? Padahal mereka adalah para pelayan dari rakyat (yang mestinya berdaulat).