Ketika Mesin Meniru Jiwa
Sumber : tech-now.io--
Coba deh kamu bayangin, kamu lagi asik scrolling, lalu nemu postingan yang rame banget dibahas orang. Gambar-gambarnya estetik parah: warna pastel, karakter yang khas banget kayak film Spirited Away atau My Neighbor Totoro, dan latar yang dreamy banget. Tapi tunggu dulu, ternyata semua itu dibuat oleh AI. Bukan seniman, bukan ilustrator, tapi mesin.
Kamu mungkin bakal bilang, “Wah, keren!” Tapi setelah tahu siapa yang bikin itu, kamu nggak penasaran? Kok bisa mesin bikin sesuatu yang seindah dan seemosional itu? Lalu, apa kabar para seniman yang bertahun-tahun belajar menggambar dan berkarya?
Miyazaki: Mesin Nggak Punya Rasa
Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli yang legendaris itu, sempat ngomong di sebuah dokumenter berjudul NHK Special : The Never-Ending Man Hayao Miyazaki bahwa AI dalam seni adalah “penghinaan terhadap kehidupan.” Awalnya, kedengarannya berlebihan. Tapi kalau kamu tahu proses di balik film-film Ghibli, kamu pasti ngerti.
Misalnya, dalam film The Wind Rises, ada satu adegan keramaian berdurasi 4 detik. Tahu nggak berapa lama pengerjaannya? Satu tahun tiga bulan! Belum lagi The Tale of the Princess Kaguya yang digambar tangan pakai cat air selama 8 tahun. Semua itu bukan soal cepat-lambat, tapi soal rasa, ketulusan, dan dedikasi.
BACA JUGA: Media Sosial: Teman Dekat atau Musuh Dalam Selimut?
Nah, sekarang bayangin semua itu bisa ditiru mesin cuma dalam beberapa menit. Rasanya kayak perjuangan itu dianggap nggak penting. Inilah kenapa banyak seniman yang merasa keberadaan AI justru mengikis nilai sejati dari karya seni.
Seniman vs AI
Kamu juga perlu tahu, bukan cuma Miyazaki yang merasa terganggu. Banyak ilustrator, komikus, bahkan penulis merasa cemas karena karyanya bisa diambil diam-diam dan dijadikan bahan latihan AI. Tanpa izin. Tanpa bayaran. Tanpa ucapan terima kasih.
AI memang bisa menciptakan gambar yang mirip, tapi mesin tidak bisa memahami pengalaman pribadi, luka batin, perjuangan, atau emosi yang biasanya hadir dalam karya manusia. AI bekerja berdasarkan data, bukan pengalaman. Tapi karena tampilannya bagus, banyak orang nggak sadar, dan justru menganggap AI lebih unggul. Bahkan masih banyak orang-orang yang ikut tren foto Ghibli meskipun sudah ada larangannya.
Ini yang bikin dunia seni mulai blur. Mana karya manusia, mana karya mesin? Mana yang asli, mana yang terinspirasi? Kalau kamu nggak hati-hati, bisa-bisa kamu ikut melanggengkan budaya yang mengabaikan hak dan usaha para seniman.
Anak Muda dan Budaya Visual Instan
Generasi sekarang hidup di era visual yang super cepat. Setiap hari kamu lihat ratusan gambar, video, dan desain di internet. Kadang kita jadi lebih fokus sama hasil yang keren atau estetik, tanpa tahu siapa pembuatnya atau gimana prosesnya.
BACA JUGA:Letih yang Tak Sekedar Lelah: Saat Jauh dari Tuhan Membuat Jiwa Kita Renta
- Share
-