Menhub Budi Dinilai ‘Abai’, Presiden Dikirimi Pesan Terbuka Purn Polri Soal Lahan Bandara Sanana

Menhub Budi Dinilai ‘Abai’, Presiden Dikirimi Pesan Terbuka Purn Polri Soal Lahan Bandara Sanana

foto: "Warga Pemilik Lahan bereaksi atas proyek fisik dalam area Bandara Emalamo". Maluku, AktualNews-Presiden Joko Widodo dikirimi sebuah “pesan terbuka” oleh seorang Purnawirawan Polri berisi permintaan bantuan agar bersedia turun tangan langsung untuk menyelesaikan kemelut lahan lokasi Bandara Emalamo di Desa Wai Ipa Sanana Kepulauan Sula Maluku Utara. Pesan terbuka itu dikirim Rabu 13 Oktober 2021 lalu melalui aplikasi WhatsApp yang sebagian isinya berbunyi : Bapak Joko Widodo bantu rakyat, saat ini telah terjadi mafia kasus tanah lahan lapter Emalamo oleh pemerintah Bupati dan kroni2nya dengan cara merampas tidak membayar hak warga sebagai pemilik lahan. Bapak Menhub selalu dibohongi oleh Bupati tentang kebenaran status lahan bandara akhirnya Menhub kucur dana 14 sekian M untuk kerja lanjut …….. Pengirim pesan terbuka ini adalah Hi. Zainudin Buamona, Purnawirawan Polri yang dahulu bertugas pada Densus 88 AT Polda Maluku di Ambon, hingga terakhir memasuki masa pensiun beberapa waktu lalu dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Dimintai konfirmasinya pagi tadi, Minggu (6/2) pkl 07:26 WIB tentang akan dipublikasikannya “pesan terbuka” yang dikirimnya dahulu melalui aplikasi WhatsApp, bahkan dengan nada tegas dia menyatakan setuju biarlah khalayak pun tahu apa yang sementara terjadi. Sebagaimana pernah diberitakan media ini dahulu (Baca Berita : Pemda Tidak Kooperatif, Pemilik Lahan Minta Sri Mulyani Blokir Anggaran Proyek Bandara Emalamo Sanana, edisi 10 Januari 2019), lahan lokasi Bandara Emalamo di Sanana masuk bagian wilayah administrasi pemerintahan Desa Wai Ipa di Kecamatan Sanana Kepulauan Sula Maluku Utara. Dari bukti Surat Keterangan Tanah terbitan Kepala Desa Wai Ipa di Sanana berdasarkan Hasil Pengukuran Kadasteral oleh Petugas Agraria setempat tgl 1-13 Maret 2010 di bawah koordinasi Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Kepulauan Sula yang dipimpin Surya Dharma Umacina, S.IP terungkap, Hi Zainuddin sendiri juga tercatat sebagai salah satu diantara lebih 40an pemilik lahan, bekas kebun/ladang milik orangtuanya yang pada saat diambil dahulu kemudian dibangun Lapangan Terbang Perintis tanpa ada ganti-rugi tanah sesuai ketentuan perundang-undangan. Selain bukti surat, terdapat pula bukti fisik yang terang benderang yaitu tanaman-tanaman produksi berusia tua antara lain kelapa, mangga dan lain-lain masih terhampar hingga sekarang disekeliling area Bandara, disamping “bekas Pemakaman Umum sejak tempo doeloe”. Sebelumnya, kebun/ladang milik warga ini telah dikuasai dan diolah secara turun temurun sejak sebagian Suku Fagud meninggalkan kebiasaan berpindah-pindah (nomadis) pada zaman Hindia Belanda dan memilih hidup menetap di Desa Wai Ipa yang belakangan dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa hingga lahirlah Desa Umaloya. Pada masa rezim ‘orba’ dekade 1970an bagian tanah kebun/ladang milik warga ini diambil dan dikuasai begitu saja oleh negara cq Pemerintah tanpa ganti rugi sesuai ketentuan Undang-Undang kecuali tanaman-tanaman umur panjang (coklat, kelapa, dan lain-lain) yang sudah berproduksi saja, sedangkan yang baru biar pun sudah jelang masuk fase produksi diabaikan. Warga pemilik lahan pada waktu itu tidak bisa berkomentar kecuali dengan berat hati membiarkan lahan kebun miliknya diambil dan dikuasai kemudian diatasnya dibangun sebuah “Lapangan Terbang Perintis” yang sekarang berkembang menjadi “Bandara Emalamo Sanana”. Tak ada seorang pun yang berani berkomentar, apalagi mengajukan keberatan, karena pemberitahuannya disampaikan langsung Camat Sanana (saat itu : Hi. Talaba) didampingi Danramil dan Kapolsek bersama sejumlah personil. Tahun 1985 sempat ada reaksi salah seorang anak Desa Wai Ipa yang saat itu belum lama menjadi Anggota Polri pada Polres Maluku Tenggara di Tual Tajudin Duwila ketika pulang cuti, dengan memasang blokade menghalangi landasan pacu, tetapi buru-buru dibekuk aparat malah sempat dikerangkeng beberapa saat dengan alasan mengganggu kepentingan umum, akhirnya tak ada lagi seseorang lain yang punya nyali mengulangi tuntutannya selama lebih 20 (dua puluh) tahun. Baru setelah Kepulauan Sula diberikan hak otonom pasca dibentuknya dengan UU No. 1 tahun 2003 tgl 31 Mei 2003, jelang masuk tahun 2010 akhir masa jabatan ke-1 Ahmad Hidayat Mus SE yang sering disapa “AHM” sebagai Bupati Sula saat itu para Pemilik lahan yang umumnya diwakili anak-anaknya mengajukan permintaan agar ganti-rugi lahan itu dipertimbangkan. Sangkanya, setelah berstatus daerah otonom, di bawah kepimpinanan anak daerah sendiri, apalagi sudah masuk era reformasi, hak-hak hukum almarhum orangtuanya yang tergilas “era orde baru” dahulu bisa pulih, ternyata dugaannya meleset. Permintaannya bukan saja tidak mendapat perhatian melainkan malah “diputar-putar hingga jadinya ibarat tak berujung”. Ada ironi, sebab telah dilakukan pengukuran kadasteral oleh Petugas Agraria setempat di bawah koordinasi Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Sula sendiri yang saat itu dipimpin Surya Dharma Umacina, S.IP dan dibuat kesepakatan harga tanah ditandatangan bersama kemudian disampaikan usulan pembayaran ganti-rugi bagi lebih 40an Pemilik Lahan kepada Kementerian Perhubungan RI oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula dilampiri dengan Rekomendasinya bersama Rekomendasi DPRD Kabupaten Kepulauan Sula, tetapi kemudian AHM selaku Bupati kembali bersurat menyatakan “tanah itu aset Daerah”, akibatnya usulan itu terganjal. Gara-gara merasa dicuekin, Bandara sempat diblokir beberapa tahun dengan menghalangi landas pacu (run way) serta menduduki landas hubung (taxiway) dan landas parker (apron), akibatnya mereka digugat Bupati AHM pada tahun 2013, tetapi kecuali pendudukan bagian-bagian Bandara itu yang memang berhubungan dengan dimensi kepentingan umum, maka lain-lain tuntutannya dalam petitum gugatan dinyatakan “tidak dapat diterima”, bahkan lebih spesifik petitum yang meminta agar lahan Bandara itu ditetapkan sebagai “aset Penggugat, Bupati Sula” justru oleh Pengadilan Negeri Labuha dalam amar putusannya juga dinyatakan “tidak dapat diterima”. Ketika Menteri Perhubungan RI dijabat Laksamana Feri Numberi, bulan Agustus 2012 setelah ditemui langsung dan diberikan penjelasan detil diiringi penyerahan bukti-bukti surat oleh para Pemilik Lahan, Numberi menyurati Gubernur Maluku Utara (saat itu : Drs H. M. Thaib Armain) meminta dilakukan klarifikasi terkait surat Bupati AHM tahun 2010, kalau memang terbukti belum dibayar akan dialokasikan melalui APBN, tetapi Tim bentukan Gubernur Armain ketika turun di Sanana bukannya meminta klarifikasi Bupati AHM) atau mengkonfrontir kedua pihak melainkan meminta para Pemilik Lahan datang ke Mapolres di Sanana kemudian diminta bubuh tandatangan tidak akan menghalangi aktivitas penerbangan. AKBP Tamrin Duwila, SH (sekarang : sudah Purnawirawan) yang saat itu disertakan dalam Tim mengaku sempat galau gara-gara itu, namun tidak bisa berbuat banyak karena posisinya tidak sebagai Pimpinan Tim melainkan hanya dilibatkan ibarat Pelengkap belaka karena posisi lahan di Desa Wai Ipa tempat kelahirannya. Mempertimbangkan amar putusannya hanya menyatakan “gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijkeverklaarrd)” termasuk pula permintaannya untuk ditetapkan sebagai “aset”, berarti belum masuk sampai Obyek Sengketa, maka para Pemilik Lahan melakukan pendekatan persuasif lagi pada masa Bupati Hendrata Tess yang menggantikan AHM, ternyata responnya tidak beda, iktikad baik ini tidak dipedulikan. Lebih ironis lagi, ketika digugat balik dalam perkara baru lagi oleh para Pemilik Lahan menggugat Bupati Sula di Pengadilan Negeri Sanana, perkara ini diputus dengan amar “gugatan tidak dapat diterima” karena mengandung “ne bis in idem”, seakan-akan perkara terdahulu sudah mendapatkan putusan positif yang memberikan status pasti terhadap Obyek Sengketa. Tajudin Duwila, salah satu pemilik lahan yang juga sudah purnawirawan Polri sejak tahun 2021 lalu ketika dimintai pendapatnya tentang “pesan terbuka Hi. Zainudin”, justru mengatakan : Saya yakin, bukan saja saya, melainkan pemilik lahan lain-lainnya pasti akan mendukung inisiatif pak Haji Udin (Hi Zainudin Buamona, red), sebab memang seperti itulah yang kami temui bersama selama upaya memulihkan hak kami atas tanah ini hingga sekarang sudah lebih 10 tahun. Pemerintah Daerah nampak angkuh sehingga kami tempuh upaya  hukum ternyata Pengadilan tak bisa memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sementara Menteri Perhubungan juga berlaku masa bodoh, maka sekarang hanya tinggal pintu terakhir pada Bapak Presiden Jokowi. Menurut Duwila, yang sebelum pensiun menjabat Kasat Resnarkoba Polres Kepulauan Sula di Sanana, dirinya melihat “ada indikasi korupsi dalam kasus lahan lokasi Bandara Emalamo” membuat Pemerintah Kabupaten Sula pada masa kepemimpinan AHM dililit ketakutan sehingga berupaya keras menghalang-halangi pembayaran ganti-rugi, yang mungkin saja turut melibatkan kalangan Kementerian Perhubungan RI. Indikasi ini menurut dia terungkap dari fakta tentang ‘luas lahan’ menurut hasil pengukuran kadasteral atas lahan lokasi Bandara Emalamo totalnya 202.250 m2 didalamnya termasuk 5.750 m2 perluasan pada tahun 2005 saat itu sudah dibayar ketika masih dipimpin Caretaker Bupati sehingga yang diusulkan ganti-ruginya oleh Pemerintah Daerah tahun 2010 hanya 196.500 m2, tapi dalam gugatan Bupati AHM tahun 2013 di Pengadilan Negeri Labuha disebut luas Bandara 213.000 m2, berarti terdapat selisih 10.750 m2. Ini menurut dia juga menguatkan dugaan adanya potensi korupsi yang menjadi sebab mengapa AHM saat itu bersikeras menolak setiap upaya pembayaran ganti rugi, sementara Kementerian Perhubungan RI juga terkesan mengamini padahal tentu difahami sikap itu tidak berdasar, tidak mustahil ada keterlibatan pihak-pihak internalnya pula. Lagi pula, tambah Duwila lagi, putusan seperti itu tentu bisa dimaknai secara mudah oleh Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi, bahwa dengan bunyi amar NO, lebih khusus terhadap permintaan penetapannya sebagai aset Pemerintah Kabupaten Sula memperlihatkan rapuhnya penguasaan lahan itu, akan tetapi sampai sejauh ini pencegahan-pencegahan para pemilik lahan diabaikan begitu saja, malah dari tahun ke tahun ada saja anggaran berskala besar diturunkan untuk membiayai sejumlah proyek fisik di atas area Bandara. Hanya, kata dia lagi, biarlah ini menjadi episode terpisah, sedangkan hal terpenting sekarang dia bersama ke-40an lebih pemilik lahan yang umumnya petani awam hukum seperti sudah mentok. Mau berperkara lebih lanjut sudah terasa berat dililit trauma gara-gara putusan pengadilan seperti itu, selain semuanya masih dalam kondisi terpuruk akibat covid-19. Oleh karena itu, serupa Hi Zainudin dirinya berharap Presiden Jokowi sebagai pintu terakhir yang bisa memberikan rasa keadilan serta kepastian hukum terhadap hak-haknya atas tanah ini, biarlah dirinya bersama lain-lain pemilik lahan sebagai bagian anak bangsa mereka bisa merasakan adanya keberpihakan negara cq Pemerintah, setidak-tidaknya bisa mengatakan acuh tak acuh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumasi bukan cerminan sikap kolektif Pemerintah.[ Red/Akt-13/MunirAchmad ]   AktualNews          

Sumber: