Gara2 Hak Tanah Bedil Meletus Di Wetar MBD, Praktisi Hukum Minta Kapolri Usut
Foto : Prosesi Pemasangan ‘Sasi’ Di Pulau Wetar Maluku Barat Daya (18/11-2021). Maluku, AktualNews-Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan selalu memperlihatkan keberpihakannya terhadap masyarakat apabila terjadi benturan kepentingan antara warga lokal dengan para entrepreneur, antara lain konflik lahan. Dari sejumlah keterangan atau pun komentarnya yang terlontar pada berbagai kesempatan, keberpihakan mantan Walikota Solo ini terhadap masyarakat atau warga secara terang-benderang bisa ditangkap khalayak. Singkatnya, ibarat bisa dengan mudah dibaca dan dimaknai oleh seseorang bermata rabun sekali pun, walau tanpa menggunakan kacamata. Satu diantaranya, pada berita berjudul “Instruksi Tegas Jokowi Soal Konflik Lahan : Saya Minta Polri Perjuangkan Hak Masyarakat”, media www.industrycoid edisi Rabu 22 September 2021 didalamnya terdapat penggalan amanah Jokowi yang dibubuhi tanda kutip (“-“) berbunyi : “Saya menginstruksikan jajaran Polri untuk memperjuangkan hak masyarakat dan menegakkan hukum secara tegas dalam penyelesaian konflik agraria di tanah air”. Tentang sikap keberpihakan Presiden Jokowi, jauh sebelum itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, seusai memberikan kuliah umum bagi mahasiswa pasca sarjana Universitas Brawijaya di Malang pada hari Jumat 22 Februari 2019, mengatakan : "Soal keberpihakan ini memang telah menjadi kebijakan beliau yang diarahkan kepada saya sejak penugasan pertama kepada saya selaku Menteri LHK”. Kabar keberpihakannya ini tentunya menunjukkan sikap konsisten Kepala Negara yang mestinya menjadi rujukan atau panduan bagi segenap aparat pemerintah atau jajaran penyelenggara negara dalam menunaikan tugas dan fungsinya, tidak kecuali TNI mau pun Polri. Setidak-tidaknya, personil-personil TNI mau pun Polri yang ditugaskan menjaga keamanan pada perusahaan-perusahaan entah perusahaan BUMN milik negara atau BUMD milik daerah atau pun perusahaan-perusahaan Swasta yang diberi kepercayaan melaksanakan tugas pengamanan pada “proyek-proyek nasional” apalagi yang kemudian ditambahi label “Strategis” hingga menjadi “Proyek Nasional Strategis”, hendaknya tidak terburu-buru buru-buru dengan begitu saja mau memihaki perusahaan dan berbalik memusuhi warga atau begitu sebaliknya. Singkatnya lagi, jangan sampai peluru pada senjata-senjata yang digenggamnya buru-buru dimuntahkan bila ada reaksi warga gara-gara haknya diputar-putar perusahaan atau misalkan ada kewajiban-kewajiban perusahaan yang sengaja diabaikan atau diulur-ulur waktunya tanpa ada kepastian, lagi pula bila dalam reaksi warga itu tidak ada sesuatu tindakan anarkhisme. Tetapi belum lama ini, jelasnya pada hari Kamis 18 November 2021 lalu, ada oknom aparat yang memuntahkan peluru senapan yang digenggamnya ketika beberapa orang warga lokal di Pulau Wetar Maluku Barat Daya (MBD) datang hanya sekedar ingin mempertanyakan atau meminta kejelasan mengenai “Sasi” atau larangan Adat yang dipasang siang hari itu bersama Pemangku Adat gara-gara ulah perusahaan. Perusahaan yang dimaksud ini adalah PT Batutua Kharisma Permai, yaitu bagian dari PT Batutua Tembaga Raya dua-duanya anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (MDKA) yang kantor pusatnya konon beralamat di Grand Rubina Bussines Park Lantai 16 Gedung Episentrum Jln HR Rasuna Said Karet Kuningan Jakarta Selatan. Sejak kurang lebih 10 tahun lalu Perusahaan ini melakukan akktivitas penambangan dengan memproduksi bahan mineral jenis “tembaga (Cu)”. Keterangan tentang terjadinya letusan bedil oknom-oknom aparat ketika sejumlah warga datang menuntut haknya ini berasal dari Ibu Ete alias Mama Ete, salah satu warga lokal di Desa Lurang Kecamatan Wetar Utara di Maluku Barat Daya, yang diperoleh media ini melalui Praktisi Hukum Mohammad Taufiq di Jakarta. Ditemui di kantornya di bilangan Salemba Jakarta Pusat, sore hari Senin (31/1), Taufiq mengaku peristiwa ini terjadi pada bulan November 2021 lalu, sedangkan keterangannya diperoleh melalui pembicaraan telepon dan video-call, juga dikirimi beberapa rekaman video dan foto-foto. Bahkan menurut keterangan Ibu Ete dari Wetar, tambahnya, para personil Brimob yang bertugas di sana saat peristiwa itu terjadi sudah dimutasikan/ditarik sejak bulan Desember 2021. Berhubung tempat kejadian peristiwa ini berlokasi di Pulau Wetar MBD yang masuk wilayah hukum Kepolisian Daerah Maluku, tuturnya, maka persoalan ini telah diserahkannya kepada Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Maluku di Ambon, Samra, agar diberikan atensi serta disikapi bersama-sama oleh kolega-koleganya di sana. Dia lantas memperlihatkan sejumlah foto dan beberapa rekaman video yang mempertontonkan suasana saat itu di Wetar, mulai pemasangan “tanda larangan (Sasi) Adat” yang nampak masih siang hari, sampai hingar-bingar yang bunyi bedil atau letusan tembakan senjata api pada malam hari. Beberapa foto-foto memperlihatkan luka goresan pada bagian punggung seseorang, yang menurut Taufiq dari keterangan Ibu Ete bernama “Simon Maitimu”, gara-gara dipukul oknom-oknom aparat memakai ‘popor senapan’. Asal-muasal peristiwa ini menurut Taufiq dari penuturan Ibu Ete, ketika hutan hak adat bernama “Partolong” milik suaminya Zacharias Masnary alias “Caka” dari turun-temurun sejak leluhur sampai orang-tuanya akan dikelola perusahaan, namun tidak dibayar ganti rugi melainkan hanya kompensasi sebesar Rp 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Merasa nilainya jauh tak seimbang dibanding luas tanah apalagi didalam kawasan ini tak sedikit pepohonan bernilai ekonomis antara lain Kenari (Canarium Amboinense Hoch), Caka langsung beranjak pergi, namun buru-buru dibujuk Camat Wetar Utara, akhirnya dia balik dan bubuh tandatangan, sedangkan kawasan hutan itu mulai digarap sejak tgl 20 November 2020 atau lebih setahun lalu. Mengingat kawasan hutan Partolong hanya diberikan kompensasi tanpa ganti-rugi maka datang pada tahun 2021 lalu, masyarakat ke-2 desa sepakat menyampaikan aspirasi kepada perusahaan terutama “bantuan penggusuran” sebagai rintisan jalan antara ke-2 Desa Uhak-Lurang karena Puskemas berkedudukan di Lurang, hanya saat itu perusahaan beralasan orang yang berwenang bernama Katamsi tidak hadir akhirnya disepakati pertemuan ulangan tgl 4 November 2021. Datang pada tgl 4 November 2021, Katamsi tidak hadir juga, maka disepakati tunda lagi pada 14 (empat belas) hari ke depannya atau tgl 18 November 2021 dengan catatan jika Katamsi tak hadir juga maka warga akan melakukan “Sasi” atau ‘pemasangan Larangan Adat’ sampai aspirasinya ditandatangani Perusahaan. Sayangnya, tiba pada saat akan digelarnya pertemuan ulangan tgl 18 November 2021 sesuai limit waktu yang telah disepakati terakhir Katamsi tidak juga hadir, sementara pihak perusahaan yang hadir saat itu pun tidak bisa memberikan kepastian kira-kira sampai kapan orang ini bisa hadir dalam pertemuan sebab konon hanya dia yang bisa menandatangani aspirasinya. Sampai di sini, menurut Ibu Ete seperti dituturkan Taufiq, warga menjadi kesal merasa dikibulin perusahaan sebab kejadian seperti ini bukan baru sekali, apalagi dari kawasan hutan Partolong tidak ada ganti-rugi kecuali hanya diberikan kompensasi Rp 350 juta padahal perusahaan tentu meraup untung berlipat-lipat ganda. Maka sesuai kesepakatan sebelumnya pada tgl 4 November 2021, akhirnya dengan dipimpin beberapa orang Sesepuh mereka memasang “Sasi” pada salah satu ruas jalan yang letaknya tidak berapa jauh jaraknya dari Pos Brimob siang hari Rabu 18 November 2021 itu juga, bahkan turut disaksikan pula beberapa personil Brimob. Hanya pada sore hari jelang malam itu diperoleh kabar “Sasi” tanda larangan adat itu sudah dibuka oknom-oknom Brimob sehingga kira-kira sekitar jam 20.00 WIT beberapa pemuda datang ke Pos untuk memastikan kebenarannya. Ketika ditanyakan, petugas yang menerima para pemuda ini mengatakan tanda Sasi itu jatuh, padahal memakai tali Rafia dengan menggantung Selembar Kain Hasil Tenun Adat, tetapi semua bahannya sudah raib tidak berada di tempat. Mendengar jawaban seolah-olah jatuh tetapi benda-benda yang dipajang pun hilang, para Pemuda meminta izin agar dipasang kembali sebab yang namanya “Sasi” mengandung nilai sakral menurut adat lokal. Anehnya, para petugas di Pos saat itu menolak keinginan para Pemuda, malah tiba-tiba salah seorang dari mereka yang bernama Jonathan dipukul. Persis pada saat itu sejumlah Pemuda lainnya tiba di Pos ingin sama-sama mendengar penjelasan soal “Sasi” yang dilepas, akhirnya timbul debat-kusir gara-gara protes rekan-rekannya yang menganggap Jonathan telah didzolimi, mengapa ditanyakan baik-baik tetapi malah dipukuli secara sewenang-wenang. Bermula dari debat kusir gara-gara pemukulan Jonathan, pada akhirnya suasana menjadi riuh tiba-tiba terdengar letusan senjata api diiringi lagi beberapa pemuda ikut dipukul antara lain Simon Maitimu memakai ‘popor senapan’ hingga timbul memar pada beberapa bagian punggungnya, malah Ibu Ete sendiri mengaku diseret-seret oleh seorang oknom Brimob tanpa ada rasa iba sedikit pun terhadap dirinya sebagai seorang ibu. Ditanyakan apakah peristiwa ini akan dilaporkan atau diadukan, dia mengatakan, sedianya sudah sejak beberapa waktu lalu namun masih fokus melihat kasus-kasus lain sehingga draft laporan belum rampung, namun dia sudah meminta kolega-koleganya di LBHNU Maluku agar ikut sikapi pula secara proaktif, lagi pula mengingat lokusnya duduk di sana. Ibu Ete, sambung dia, bertutur panjang-lebar tentang kronologi peristiwa ini sambil tersedak-sedak sehingga membuat dirinya ikut merasa sedih dan masygul. “Ini mengingatkan saya tentang praktek oknom-oknom aparat pada zaman rezim Orba dahulu, padahal kita tahu, sejak awal 2000an praktek seperti ini sudah ditekan habis-habisan oleh Pimpinan TNI/Polri, apalagi kepemimpinan Polri sekarang yang dipegang Kapolri Pak Listyo Sigit sejak awal kepemimpinannya bulan Januari 2021 tak henti-henti mengupayakan agar citra institusi ini menjadi lebih baik dan kembali mendapat simpati publik”, tandasnya menambahkan.
Sumber: