Konflik Ori-Kariuw, Helmi Bama : Jangan Diplintir Seakan-akan Berlatar “Sara”

Konflik Ori-Kariuw, Helmi Bama : Jangan Diplintir Seakan-akan Berlatar “Sara”

Foto : Salah Satu Rumah yang Terbakar dalam Konflik di Pulau Haruku (25/1).   Maluluku, AktualNews-Harmoni kebersamaan antar anak-anak negeri di Maluku lebih satu dekade terakhir sudah pulih seperti sediakala dan makin hari makin harmonis. Ini sebuah suasana kondusif untuk melakukan upaya bersama menata daerah ini ke depan agar lebih cepat berkembang hingga bisa mengejar ketertinggalannya dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Kita memang tidak bisa menyembunyikan atau menutup-nutupi fakta, bahwa daerah ini pernah dilanda konflik horizontal yang cendrung berbauh ‘Sara’, hingga mengesankan “pertarungan hidup mati” antara para penganut dua agama yang berbeda, tetapi lebih satu dekade ini kondisi sosial sudah pulih, malah terkesan, warga secara diam-diam bersepakat melupakan riak pahit yang pernah memasung kesehariannya, seakan-akan tak pernah terjadi. Sayangnya, hal ini membuat banyak orang buru-buru beranggapan, seakan-akan faktor-faktor dominan yang berpotensi memicu timbulnya konflik komunal antar warga di daerah ini sudah berakhir. Padahal sesungguhnya, secara laten masih ada aneka-ragam persoalan yang bisa sekejap membuat kondisi sosial kembali keruh, antara lain tentang batas-batas tanah. Kalau saja Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional bersama para Pemangku Adat bisa berpikir kritis dan bersikap lebih proaktif hingga kemelut “batas tanah” terutama antar Desa/Negeri dibikin clear dan tuntas, niscaya konflik semacam itu tidak bakalan terjadi, aparat keamanan pun tidak perlu direpotkan apalagi sampai dijadikan obyek hujatan seakan-akan lelet telat dan lain-lain. Potensi konflik dari batas-batas tanah di Maluku pada umumnya dan lebih khusus di Kota Ambon, dikemukakan Helmi Bama, menjawab pertanyaan media ini yang meminta komentarnya tentang konflik antar warga pada dua desa atau kampung bertetangga, Ori dan Kariuw, di Pulau Haruku Maluku Tengah. Maraknya sengketa tanah di lembaga-lembaga peradilan dan tidak sedikit yang baru bisa berakhir hingga tingkat Peninjauan Kembali, menurut dia, mestinya dijadikan semacam isyarat bahwa soal batas tanah merupakan sebuah bahaya latent yang patut diwaspadai. Sebelumnya, salah satu sumber dari Ambon mengirimkan sebuah pesan terusan melalui aplikasi WhatsApp yang diterima media ini pagi hari Rabu (26/1) dilengkapi sebuah vedio. Isi pesannya ini mengabarkan, pada hari Selasa (25/1) telah terjadi peristiwa penyerangan oleh sekelompok orang terhadap warga Desa Kariuw di Pulau Haruku Maluku Tengah, sementara itu dari tangkapan layar video kirimannya itu juga memperlihatkan sejumlah rumah sedang dilalap si jago merah. Aksi penyerangan massal ini dikabarkan bermula dari adanya perselisihan antara dua orang warga Kampung/Negeri bertetangga, masing-masing AKT (45) warga  Dusun/Kampung Ori di Negeri Pelauw dan BL (64) warga Negeri Kariuw tentang sebidang tanah yang terjadi sore hari sebelumnya, Selasa (24/1). Belum lama kabar itu diterima, sejumlah media sudah keburu diriuhkan dengan berita mengenai konflik yang berujung serangan serta bakar-bakaran yang mengakibatkan sejumlah warga terpaksa harus mengungsi meninggalkan kediamannya, tak kecuali media-media ibukota di Jakarta. Diberitakan, sejumlah warga dari ke-2 kubu ikut menjadi korban sebagai tumbal konflik, baik dari Ori mau pun Kariuw, ada yang meninggal dunia dan sebagiannya mengalami luka berat dan ringan. Mulanya diberitakan seakan-akan korban jiwa hanya dari kubu tertentu saja dan ada gedung ibadah gereja yang terbakar, tetapi kabar itu buru-buru dibantah oleh Mubalikh Muda asal Negeri Pelauw di Pulau Haruku, Al Ustad Muhammad Syarief Tuasikal. Ketua Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pelauw (IPPMAP) ini buru-buru memberikan klarifikasi terbuka soal warga yang menjadi korban dari konflik itu, bahwa ternyata bukan saja korban di pihak Negeri Kariuw seperti diberitakan sebelumnya melainkan terdapat juga 3 (tiga) orang warga Ori, didalamnya terdapat seorang sepupunya sendiri meninggal dunia disamping tiga warga lainnya mengalami luka tembak, selain itu tidak ada rumah ibadah gereja yang dibakar orang seperti diisukan sebelumnya Menanggapi rangkaian kabar ini, Helmi mengatakan, pihaknya juga sudah mendapar informasi dari sumber yang layak dipercaya, bahwa sesungguhnya konflik ini sama sekali bukan konflik SARA melainkan semata-mata gara-gara tapal batas. Lagi pula, tukasnya, tidak ada sesuatu rumah ibadah yang terbakar dan juga korban jiwa bukan hanya dari salah satu kubu melainkan dari kedua kubu sama-sama menjadi korban. Oleh karena asal-muasal atau sebab-musababnya adalah persoalan batas tanah, maka pihaknya merasa perlu menyampaikan himbauan terbuka terutama bagi mereka yang suka bercengkerama di laman-laman media sosial agar peristiwa ini jangan sampai diplintir seakan-akan gara-gara sebab lain yang mengandung unsur SARA. Begitu pula sebaliknya bagi warga Maluku pada umumnya dan lebih khusus warga Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease jangan sampai terjebak seakan-akan bersumber dari hal-hal yang berbagai SARA sebagaimana isu-isu yang sengaja disebarkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. “Kita mesti malu terhadap para pendahulu dan peletak dasar negeri ini, sebab pada zaman di mana kita sekarang seakan-akan sudah berada pada era peradaban yang jauh lebih tinggi atau lebih maju, tetapi NKRI yang berciri kebhinekaan ini bisa dengan mudah didirikan pada zaman itu, sebaliknya, sekarang ternyata kita masih sangat sering terperangkap gara-gara pandangan picik yang terkesan enggan menghargai perbedaan dan lebih gemar memilih cara-cara kuno dari kultur

masyarakat bar-bar ketika berbenturan dalam sesuatu konflik yang disebabkan sesuatu perbedaan pandangan”, katanya dengan nada tandas sambal mengakhiri pembicaraan. [ Red/Akt-13/Munir Achmad ]
  AktualNews
 
 

Sumber: