Agar Tak Wariskan PR Buram, Pimpinan KPK Harus Segera Selesaikan Kasus Gratifikasi Keliobas
H. Zawawi Suat bersama Drs Stefanus Malak MSi (mantan Bupati Sorong)
Maluku, Aktual News-Masa jabatan Pimpinan KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo bersama Basaria Panjaitan Dkk akan berakhir tgl 21 Desember 2019 nanti. Menghindari terjadinya kevacuman kepemimpinan pada lembaga anti-rasuah ini, maka Presiden Joko Widodo telah menandatangani keputusannya No. 54/P tahun 2019 tgl 17 Mei 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023 yang diketuai Yenti Garnasih, pakar hukum universitas Trisakti Jakarta. Ini berarti waktu kerja efektif masa jabatan Agus Rahardjo Dkk hanya tinggal 5 (lima) bulan, sebuah rentang waktu yang terbilang singkat dilihat dari ruang lingkup tugas, fungsi dan wewenang kelembagaannya yang secara spesifik berorientasi pada pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berhubung waktu kerja efektif dari sisa masa jabatannya hanya lebih 5 (lima) bulan tetapi masih terdapat sejumlah kasus korupsi dibiarkannya mengendap atau diendapkan padahal ada yang menurut hukum sudah terang dan jelas, Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) memberikan sorotan tajam terhadap kepemimpinan Agus Rahardjo Dkk. Sorotan tajam ini terungkap dari pembicaraan media ini dengan Ketua Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Drs. H. Zawawi Suat yang juga Ketua Lembaga Kajian Keuangan Nasional (LKKN). Saat bincang-bincang dikediamannya di Jakarta sehari pasca lebaran idulfitri 1440H pada siang hari Kamis (6/6), Zawawi yang juga pensiunan ASN Pem-Prov DKI ini mengungkapkan komentarnya dengan nada masygul. Salah satu kasus korupsi yang dikemukakan sebagai sampel terkait sorotannya ini antara lain keterlibatan Bupati Seram Bagian Timur (SBT) di Maluku, Mukti Keliobas bersama kroninya Sugeng alias Tanjung, dalam kasus gratifikasi Yaya Purnomo salah satu mantan Kepala Seksi pada Kementerian Keuangan RI.
Seperti diberitakan media ini pula pada edisi 3 Maret 2019 (Baca Berita : “Disebut JPU Lakoni Suap DAK SBT 2017, Tanjung Dkk Harus Segera Ditahan”), Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta Pusat di Jln Bungur Besar Raya pada hari Senin 4 Pebruari 2019 telah memutuskan Yaya Purnomo terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sebagaimana diungkapkan JPU dalam Dakwaan Kedua. Putusannya ini malah sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), oleh karena itu sejak hari Rabu 13 Maret 2019 lalu Yaya Purnomo selaku terpidana telah dieksekusi Jaksa KPK dengan memindahkan penahanannya ke Lapas Sukamiskin di Bandung bersama 2 (dua) terpisana lain yang terlibat dalam kasus yang sama, yaitu : Amin Santono Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat dan Eka Kamaluddin yang berprofesi sebagai Konsultan.
Menurut Zawawi, dari penelusurannya atas Dakwaan ke-2 dalam putusan hakim yang disebutkan terbukti itu, Yaya Purnomo menerima sejumlah uang atas bantuannya mengupayakan kucuran dana DAK 2017 dan proyek APBN-P tahun 2018. Salah satu pemberian gratifikasi itu berasal dari Sugeng alias Tanjung, seorang pengusaha yang sebelum ini dikenal sebagai kroni atau orang-dekat Bupati Keliobas, pada bulan November 2017. Gratifikasi berupa uang tunai ini menurut dakwaan JPU, kata Zawawi, diberikan Sugeng sebagai balas-jasa atas bantuan Yaya Purnomo mengusahakan melalui perannya sebagai Kepala Seksi pada Kementerian Keuangan RI sehingga Kabupaten SBT mendapat kucuran DAK 2017. Baik Sugeng (Tanjung) mau pun Keliobas menurut dia konon sudah beberapa kali dipanggil dan dimintai keterangannya oleh penyidik KPK.
Ketika perkara Yaya Purnomo baru saja diputus pada tingkat pertama di PN Tipikor Jakarta Pusat, urainya, media ini juga menayangkan statement pakar hukum pidana Prof Abdul Fickar Hadjar (Baca Berita : “Putusan Adalah Fakta Hukum, Terkait DAK SBT 2017 Tanjung Dkk Harus Segera Di-TSK-kan”, edisi 1 Maret 2019) yang menyatakan putusan itu sudah merupakan fakta hukum maka oleh karena itu KPK perlu segera menindak-lanjuti prosesnya terkait peran lain-lain orang yang diduga terlibat, tidak kecuali Keliobas dan Sugeng. Lagi pula dalam statementnya itu dikatakan, putusan itu justru sudah merupakan satu alat bukti atau minimal alat bukti tambahan bagi Penyidik KPK, belum lagi ditambah bukti rekaman pembicaraan, dan lain-lain.
Anehnya, kata dia, sampai putusannya sudah memiliki kekuatan hukum tetap sejak awal Maret 2019 lalu berarti KPK sudah memiliki bukti-permulaan cukup tentang peran Keliobas dan Sugeng alias Tanjung dalam kasus menghebohkan publik Maluku ini dan konon kabarnya telah dilakukan penetapan ‘tersangka’, akan tetapi apa tindaklanjutnya oleh Penyidik malah mengendap diam tak tentu arah sampai sudah sekian lama. Padahal menurut dia, khusus terkait peran Keliobas dan Sugeng dalam kasus ini terdapat beberapa indikasi keduanya justru berpotensi merusak atau menghilangkan alat-bukti atau juga melakukan hal-hal lain untuk menghalang-halangi jalannya penyidikan sehingga sudah cukup sebagai alasan subyektif yang selayaknya dipertimbangkan. Misalnya, usai pemeriksaan perdana Keliobas mengelak tidak mengenal Yaya Purnomo, padahal menurut pengakuan Sugeng (Tanjung) yang juga dikemukakannya kepada para wartawan saat itu, baik Keliobas mau pun Kepala Dinas PUPR SBT Umar Bilahmar justru mengenal Yaya Purnomo. Keterangan Sugeng (Tanjung) ini malah mendapat penguatan Yaya Purnomo sendiri sebagaimana pengakuannya yang dikonstatir JPU dalam Surat Dakwaan, bahwa sebelum itu keduanya sering berkomunikasi dan baru saja ketemu tak lama sebelum OTT KPK atas dirinya, bahkan uang yang diberikan Sugeng (Tanjung) pun diakui sebagai kesepakatannya dengan Keliobas.
Oleh karena itu, ungkap Zawawi, selain sebagai salah satu sesepuh warga asal Maluku di ibukota negara Jakarta, maka berangkat dari kewajiban sebagai anak-bangsa sesuai amanah UU No. 28 tahun 1999 dia merasa ada beban kewajibannya secara moral mau pun yuridis untuk mendesak Pimpinan KPK Agus Rahardjo Dkk segera menindaklanjuti kasus ini khususnya yang terkait dengan peran Keliobas bersama Sugeng Tanjung). Setidaknya, agar kepemimpinan Agus Rahardjo Dkk pada lembaga anti-rasuah KPK RI tidak diakhiri dengan meninggalkan “PR Buram” bagi kepemimpinan yang akan datang.[ Red/Akt-13 ]
Sumber: