Maluku, Aktual News-Warga masyarakat Kota Ambon dihimbau jangan sampai terkecoh hingga melakukan transaksi jual-beli atas tanah pada kawasan yang dahulu disebut persil ex eigendom 986 agar tidak memikul beban kerugian di kemudian hari. Sebab putusan tentang tanah ini sudah menampilkan status hukumnya, yaitu
“tanah dati Tumalahu milik almarhum moyang Tahir Nurlette” di Negeri Batumerah, yang ahli warisnya
Jafar Nurlette dan sekarang turun pada
Abbas Nurlette Dkk., atau dengan kata lain
“bukan persil ex eigendom 986”.
Himbauan ini disampaikan Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Provinsi Maluku, Jamal A. Panuda. Jamal mengemukakan himbauannya ini menanggapi selentingan kabar yang memberitakan beberapa kalangan pemilik bangunan di atas tanah ini diam-diam sedang berusaha menjual tanah dan bangunannya kepada pihak lain.
Lebih lanjut, Jamal yang juga salah satu
Staf Pengajar pada
Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon ini mengatakan, tanah ini meliputi hamparan
seluas lebih 99Ha yang masuk
petuanan adat Negeri Batumerah, hanya sebagiannya meliputi
Kelurahan Pandan Kesturi.
Sejak akhir dekade 1950-an, katanya, penguasaan dan pengaturan dalam peruntukan tanah ini dilakoni oleh pejabat-pejabat instansi Agraria seakan-akan
“tanah negara eks eigendom 986”. Selama itu pula, telah diterbitkannya sejumlah hak dan sertifikat hak, antara lain HM No. 79 seluas 37.266 m2 atas nama
Came Souissa belakangan baru terungkap telah diterbitkan SHM Pengganti No. 379, HM No. 111 luas 12.000 m2 atas nama
Suita Tandra yang kemudian telah digantikan dengan SHM Pengganti No. 4315, HM No. 112 seluas 22.222 m2 atas nama
Max Angkisan, HM No. 140 seluas 33.333 m2 atas nama
Eli Lisa, HM No. 158 atas nama
Martha Tantui tetapi telah dijualnya kepada
Ny Saceny Soemeru isteri
Brigjen TNI Soemeru mantan Gubernur Maluku, dan lain-lain. Para pemegang sertifikat ini rata-rata telah melakukan pemecahan dan pemisahan dalam bidang-bidang tanah yang lebih kecil dengan memberikan haknya lagi pada pihak-lain, antara lain
HM No. 789 atas nama
Robert Yo Sieto di Kampung Oihu dari
HM No. 112.
Ternyata ketika diperkarakan tahun 1996, urainya,
Pengadilan Negeri Ambon mengabulkan gugatannya dengan menyatakan tanah ini adalah bagian Dusun Dati Tumalahu, kemudian naik banding putusan ini malah dikuatkan
Pengadilan Tinggi Maluku, selanjutnya dimohon kasasi oleh
Sientje Elisabeth Simauw selaku Tergugat/Pembanding tetapi tidak dilengkapinya dengan risalah kasasi sehingga dinyatakan
“tidak dapat diterima”. Bahkan setelah itu Pemerintah RI cq Menteri Negara Agraria/Kepala BPN cq Kakanwil BPN Provinsi Maluku cq Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon selaku
“Turut Tergugat” telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), demikian tuturnya menambahkan, namun Mahkamah Agung RI dalam amar putusannya menyatakan
“menolak permohonan PK tersebut”.
Walau gugatan perkara ini telah didaftarkan di PN Ambon tgl 2 Oktober 1997 dengan melibatkan langsung Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI cq Kakanwil BPN Provinsi Maluku cq Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon sebagai
“Turut Tergugat” dan pada tingkat paling akhir permohonan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI dalam amar putusannya dinyatakan
“ditolak”, sedangkan putusan sebelumnya menyatakan
“mengabulkan gugatan Penggugat” yang berarti status obyeknya sudah jelas menurut hukum setidak-tidaknya sejak terbit putusan PK
tgl. 26 September 2005 No. 24 PK/Pdt/2005, tetapi entah alasan apa hak-hak ini dibiarkan tidak dibatalkan. Malah diam-diam pihak BPN terus melakukan perbuatan hukum baik berupa pemecahan atau pemisahan dengan menerbitkan SHMnya atau penerbitan SHM Pengganti atas SHM-SHM terdahulu mau pun penerbitan hak dan SHM yang baru. Seperti dari beberapa temuannya, antara lain : HM No. 927, No. 928 dan No. 963 tahun 1998 di Tanah Rata dari
Kakanwil BPN Provinsi Maluku kepada
Kho Tjeng Jaoe dan
Richan Kusno, kemudian HM No. 5646 tgl 5 Nopember 2020 disamping Kompleks pemukiman Tanjung Batumerah dari
Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon kepada
Muhammad Rohim.
Padahal, bila disimak berdasarkan psl 55 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 dan aturan tentang tekhnis pembatalan hak yang berlaku saat itu dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999, mestinya ada inisiatif untuk itu walau tanpa ada permohonan. Apalagi dalam perkara itu, tandas Jamal, Pemerintah cq Menteri Negara Agraria/Kepala BPN cq Kakanwil BPN Provinsi Maluku cq Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon juga terlibat langsung sebagai
“pihak dalam perkara”.
Gara-gara pengabaian ini, sertifikat-sertifikat tersebut terus berlaku seakan-akan tak ada cacat sehingga ketika diusung sebagai alat bukti dalam perkara selalu diamini begitu saja oleh pihak peradilan. Peradilan juga terkesan menutup mata seakan-akan putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (
inkracht van gewijsde) itu tidak pernah ada. Ini berakibat orang-orang yang mendapatkan hak dari ahli waris yang berhak sejak Jafar Nurlette dahulu rata-rata selalu divonis
“kalah perkara” bahkan kemudian dieksekusi paksa oleh PN Ambon sendiri.
Ini menurutnya justru menampilkan sebuah
“ironi” dalam praktek peradilan, sebab sebelumnya menurut putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap
“tanah ini dinyatakan sebagai dusun dati Tumalahu”, tetapi gugatan pada pengadilan yang sama dengan sertifikat yang diterbitkan atas dasar
“tanah bekas eigendom” malah diterima. Ibaratnya, tambah Jamal lagi, atas satu
“obyek yang sama”, putusan semula menyatakan warnanya
“putih”, tetapi putusan kemudian membenarkan dalil yang menyebut obyeknya berwarna
“hitam”.
Berangkat dari fakta-fakta dan konstruksi hukum ini, maka ketika beberapa warga Kapaha-Bawah datang meminta bantuan hukum LPBHNU Maluku, pihaknya langsung menyurati Ketua Mahkamah Agung RI. Isi surat itu meminta agar putusan yang memvonis kalah terhadap warga Kapaha-Bawah itu dinyatakan “non eksekutabel” tidak dapat dilaksanakan, dan ke depan jangan lagi ada putusan seperti itu sebab implikasinya justru merusak citra peradilan, menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi memicu konflik. Tentang suratnya ini, kata dia,
Ketua Mahkamah Agung telah menyurati
Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dengan penekanan agar surat tersebut ditindak lanjuti kemudian laporkan hasilnya.
Selain menyurati Ketua Mahkamah Agung RI,
Prof. DR. Muhammad Syarifuddin SH MH, Jamal mengaku pihaknya telah mengajukan “rekomendasi pembatalan hak-hak dan sertifikat-sertifikat” itu kepada Menteri Agraria & Tata Ruang/Kepala BPN RI,
Prof. DR. Sofian Jalil. Saat ditanyai tentang
“rekomendasi pembatalan”, dia dengan nada tandas mengatakan :
“Menurut hukum tidak ada alasan pembenaran untuk mempertahankan hak-hak ini melainkan harus segera dibatalkan kemudian dicabut dan dihapus. Kecuali Prof Sofian (Menteri Sofian Jalil, red) ingin mempertontonkan kepada khalayak bahwa beliau itu kebal hukum atau tidak berkewajiban tunduk dan patuh terhadap putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap”.
Oleh karena itu, mengakhiri keterangannya Jamal kembali mengutarakan harapannya agar jangan sampai ada warga yang terkecoh hanya gara-gara diperlihatkan SHM entah asli atau pun copy, sebab kelak bisa menimbulkan kerugian yang sulit dipulihkan.[ Red/Ak-13/Munir Achmad ]