Ombudsman RI Dinilai Lelet, Duwila Himbau Jangan Lagi Ada Emalamo Jilid II

Ombudsman RI Dinilai Lelet, Duwila Himbau Jangan Lagi Ada Emalamo Jilid II

Maluku, Aktual News-Salah satu pemilik lahan lokasi Bandara Emalamo di Sanana Maluku Utara, Tajudin Duwila, menilai Ombusman RI sebagai salah satu “lembaga pelat merah” terlalu lelet dalam penanganan kasus-kasus yang dilaporkan warga masyarakat. Ini menurut Duwila justru merupakan kelalaian, yang mestinya tidak boleh terjadi bila disimak berdasarkan wewenang Ombudsman sebagaimana diatur dalam UU No. 37 tahun 2008 dan UU Pelayanan Publik No. 25 tahun 2009. Keterangan Duwila terkait penilaian tentang leletnya kinerja Ombudsman RI ini disampaikan dari Sanana Kepulauan Sula Maluku Utara kepada media ini melalui pembicaraan telepon seluler, malam hari Senin (20/1). Saat mengawali keterangannya itu, dengan nada masygul Duwila lebih dahulu mengemukakan penyesalannya, sebab menurut mantan Kasat Resnarkoba Polres Sula ini, pada mulanya dia tidak menduga laporan mengenai “pengabaian kewajiban publik” dalam kasus lahan lokasi Bandara Emalamo pada Ombudsman RI akan berproses dalam waktu berlarut-larut hingga lampau setahun lamanya. Alasannya, kata dia, karena dalam UU No. 37 tahun 2008 dan UU No. 25 tahun 2009 mau pun beberapa regulasi lainnya, penanganan sesuatu kasus oleh lembaga yang dipimpin mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Prof Amzulian Rifai SH LLM Ph.D ini jadwal waktunya sampai diterbitkannya sebuah “rekomendasi penyelesaian” sudah ditentukan di dalam prosedur-tetap atau yang lazim disingkat “protap”. Ternyata, tambah Duwila, bila dihitung secara akumulatif mulai saat permulaan diajukannya surat mengenai kasus ini tgl 12 November 2018 hingga lampau setahun lamanya baru pada hari Jumat 27 Desember 2019 lalu pihaknya menerima surat Ombudsman RI yang mengakhiri laporan ini No. B/1443/LM.25-K6/0129. 2019/XII/2019 tgl 23 Desember 2019. Surat ini ditandatangani langsung oleh Ketua Ombudsman Prof Amzulian, yang isinya antara lain menguraikan permintaan klarifikasi Menteri Perhubungan yang bermula dengan surat No. 31KLA/0046.2019/AL-54/Tim.6/II2019 tgl 7 Februari 2019 hingga terakhir balasan surat klarifikasi dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula yang diterima tgl 29 Agustus 2019 namun tidak disebut nomor dan tanggal suratnya. Lebih bikin kesal lagi, tuturnya lanjut, karena isi surat itu terkesan sama sekali mengabaikan sejumlah fakta yang telah disertai bukti-bukti cukup. Bisa diibaratkan Ombudsman hanya membubuhi stempel pembenaran terhadap kesewenang-wenangan pemerintah dan pemerintah daerah. Ditanyakan apa sebab Ombudsman diibaratkan hanya membubuhi stempel pembenaran, mantan Kapolsek Namlea di Pulau Buru ini lantas bertutur panjang-lebar. Dikatakan, surat Ombudsman mengkonstatir putusan pengadilan seakan-akan sudah cukup lewat Pengadilan, padahal putusan pengadilan yang dimaksudkan itu dilampirkan sebagai bagian dari bukti-bukti laporannya, dan dari putusan itu terbukti, menyangkut permohonan Pemerintah Kabupaten Sula dalam petitum gugatannya selaku penggugat agar Bandara Emalamo ditetapkan sebagai “asset daerah” menurut Majelis Hakim dalam amar putusannya dinyatakan “tidak dapat diterima” alias “NO”. Bunyi amar putusan seperti ini menurut dia mengandung makna kembali kepada keadaan semula seperti sebelum diperkarakan, ini bisa diartikan Pemerintah Kabupaten Sula sedang menguasai lahan Bandara Emalamo yang bukan miliknya. Amar putusan ini menurut dia sudah benar, karena bukti yang diajukan Pem-Kab Sula hanya berupa daftar-asset tanpa ada sesuatu bukti lain yang membuktikan tanah itu diperoleh dengan cara-cara yang halal menurut hukum. Sebaliknya, bukti kepemilikan lahan dirinya bersama Marjun Umafagur Dkk ada Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (SKPT) atas nama masing-masing orang dari Kepala Desa berdasarkan hasil pengukuran Panitia Pengadaan Tanah dari Pem-Kab Sula sendiri, bukti-bukti kesepakatan harga kedua-belah pihak hingga usulan pembayaran ganti-rugi kepada Pemerintah cq Menteri Perhubungan dan lain-lain disamping bukti-bukti fisik berupa kebun /ladang milik warga Desa Wai Ipa dan Desa Umaloya dengan tanaman-tanaman berusia tua yang sampai sekarang sebagiannya masih terhampar. Namun sesalnya Ombudsman hanya mengakhiri suratnya dengan mengatakan penjelasan pem-kab Sula sudah memadai karena sudah ditindaklanjuti lewat peradilan, seakan-akan fakta dan bukti-bukti yang dilampiri dalam surat-suratnya sama sekali tak bisa dimaknai. “Ini menurut saya ironis, karena petitum gugatan yang memohon pengadilan menyatakan Bandara Emalamo sebagai aset pem-kab Sula menurut amar putusannya dinyatakan tidak dapat diterima tetapi Ombudsman menilai ini sudah cukup, sebaliknya permintaan rekomendasi penyelesaian tuntutan ganti-rugi tanah ini diabaikan begitu saja”, kata Duwila lagi. Oleh karena itu mengakhiri pembicaraan dia berharap pandangan dan kebijakan Ombudsman RI terhadap permohonannya jangan sampai terulang pada pihak lain di kemudian hari, dengan kata lain jangan sampai terjadi lagi ada kemelut Emalamo jilid II. Sebab jika terus berulang, kelak lama kelamaan akan menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap Ombudsman sendiri. [ Red/Akt-13 ]   Munir Akhmad Aktual News

Foto :
TAJUDIN DUWILA

Sumber: