Kawasan Terluar Jangan Hanya Ditempatkan Tentara
Rabu 01-01-2020,22:23 WIB
Jakarta, Aktual News-Pengembangan kawasan terluar atau yang sering pula disebut “halaman depan NKRI” mestinya dipacu secara lebih gencar, dan untuk itu tidak bisa dianggap cukup hanya dengan memasang tugu atau monumen atau sekedar menempatkan aparat keamanan (TNI) diiringi pembangunan barak-baraknya dengan persenjataan dan peralatan pendukung, tetapi seyogianya mengalokasikan pula paket-paket program taktis yang secara cepat bisa merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal secara cepat dan signifikan.
Kita perlu belajar dari kebijakan rezim dahulu, di mana desain “trilogi pembangunan” yang begitu apik menempatkan stabilitas keamanan setara dengan stabilitas politik serta stabilitas ekonomi yang intinya mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi, ternyata dalam implementasinya oleh para pelaksana kebijakan ternyata sebagian besar perhatiannya hanya fokus pada terwujudnya stabilitas keamanan yang bahkan dipacu dengan sangat kencangnya jauh tidak setara dibanding upaya-upaya memacu pertumbuhan ekonomi, pada akhirnya berubah menjadi pemicu antipati terhadap rezim yang mencapai antiklimaks dengan aksi massa 1998.
Demikian rangkuman pendapat dari Muhammad Djamil SE MH, seorang intelektual-muda Maluku yang lebih gandrung melakoni aktivitas kesehariannya di atas pentas politik-praktis, sebagaimana dikemukakannya kepada Munir Akhmad dari media ini saat ditemui di Muara-Angke Jakarta, Selasa (31/12). Dia menyambut baik inisiatif pemerintah melalui program penempatan aparat keamanan lebih khusus personil-personil TNI dengan jargon “menyanggah keutuhan NKRI” karena area perbatasan memang merupakan halaman depan NKRI yang oleh karena itu sudah sepatutnya dikawal secara ketat, dan tanggungjawab itu dalam tataran tekhnisnya berhubungan dengan fungsi teritorial yang merupakan domein Panglima TNI beserta jajarannya. Bahkan menurut dia, kalau pun satu pulau tertentu ternyata kosong tidak berpenghuni tetapi kedudukannya berada pada garis batas-laut atau perairan, aparat TNI memang perlu ditempatkan di sana dengan segala macam persenjataan disertai dengan kelengkapan-kelengkapan penunjang lainnya terutama perangkat-radio dan sarana-sarana komunikasi lainnya termasuk radar, setidak-tidaknya bercermin dari pengalaman sejarah hilang terhapusnya 2 (dua) Pulau Sepadan dan Ligitan secara terpaksa dari peta wilayah NKRI beberapa waktu lalu.
Tetapi ketika ditanyakan lebih jauh apakah sudah cukup dengan hanya sekedar menempatkan personil-personil TNI beserta persenjataan dan peralatan-peralatan pendukungnya, menurut dia tidak. Sebagian besar pulau-pulau yang terletak di kawasan-terluar, menurut dia justru berpenghuni, dan penduduknya tentu bukan sekedar membutuhkan rasa aman melainkan mendambakan kenyamanan yang seutuhnya, terutama kebutuhan-kebutuhan primernya meliputi sandang-pangan dan papan. Untuk mendapatkan aneka-ragam kebutuhan hidupnya itu, mereka sesungguhnya memiliki motivasi dan keinginan kuat agar semuanya bisa diraih melalui usaha sendiri secara swadaya tidak perlu bergantung pada belas kasihan pemerintah misalnya melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan lain-lain, tetapi apa boleh buat sampai sejauh ini terbentur dengan terbatasnya sarana dan prasarana. Sebagai argumentasi pendukung, dia lantas mengemukakan gambaran tentang kondisi sosial masyarakat pada pulau-pulau Terluar di Maluku.
Dikatakan, dari 111 (seratus sebelas) buah pulau yang masuk kategori “pulau terluar” sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 6 tahun 2017 tgl 2 Maret 2017 tercatat 17 (tujuh belas) buah pulau atau lebih 15 % merupakan bagian wilayah provinsi Maluku, dan semuanya terhampar di perairan laut tenggara-raya bagian selatan mulai Kepulauan Aru menyusuri perairan-selatan Maluku Tenggara Barat (MTB) yang sekarang berubah namanya menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) sampai Maluku Barat Daya (MBD). Hamparan pulau-pulau ini, urai Jamil, mulai dari Pulau Kultubai-Selatan di bagian tenggara gugus-Kepulauan Aru yang berbatas dengan Australia sampai Pulau Wetar di bagian barat-daya gugus-kepulauan Maluku Barat Daya yang berbatas dengan Timor-Leste.
Salah satu kondisi faktual yang masih mengemuka sampai sekarang, tandasnya lanjut, warga Pulau Wetar antara lain desa-desa seperti Lurang dan Uhak bila ingin berkomunikasi keluar melalui sambungan telepon-seluler masih sangat sulit kecuali pergi ke pesisir pantai atau berjalan lebih lajuh lagi ke Camp PT Batu Tua, sebuah perusahaan tambang-emas yang berproduksi di sana sejak lebih 10 tahun lalu. Apalagi desa-desa yang lebih jauh, komunikasi keluar menjadi “hal yang mustahil” tidak soal untuk kepentingan apa saja, apakah ada orang sakit yang perlu dirujuk menjalani perawatan di luar, ada hasil-hasil produksi yang dipaandang lebih baik dipasarkan ke luar, ingin mengecek anak-anaknya yang melanjutkan pendidikan (sekolah/kuliah) di luar Pulau Wetar atau mungkin juga ada suatu kepentingan hukumnya yang dilanggar atau dirampas secara semena-mena. Masyarakat pun menurut dia pada umumnya masih bertahan dengan pola produksi tradisional baik dalam bercocok tanam atau pun dalam kegiatan-kegiatan usaha yang berorientasi ke laut. Sungguh ironis, kata dia lagi, Pulau Wetar luasnya 2.622Km2 dengan jumlah penduduk menurut data tahun 2017 hanya kurang lebih 7.900jiwa atau 3,04 jiwa/Km sementara kedudukan desa pada umumnya sangat berjauhan satu sama lain akan tetapi tower yang dibangun pemerintah di sana belum sampai 10 (sepuluh) unit.
Oleh karena itu kepada Pemerintah Jamil menghimbau agar implementasi program “kawasan terluar” jangan hanya disikapi dengan pendekatan parsial sekedar menempatkan personil-personil TNI untuk menyanggah interitas wilayah NKRI, tetapi harus diiringi program-program sosial yang secara signifikan dapat secara cepat merangsang usaya-usaha produktif masyarakat lokal untuk meningkatkan taraf hidupnya mau pun untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat lain di luar. Misalnya, kata dia, Menteri Komunikasi dan Informatika perlu segera memikirkan pembangunan tower-tower yang memudahkan masyarakat berkomunikasi ke luar melalui telepon-seluler, Menteri PUPR perlu bergegas memikirkan pembangunan jalan atau peningkatan kualitasnya demikian pula Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan perlu memikirkan intervensi programnya ke sana. Setidak-tidaknya agar masyarakat lokal di pulau-pulau terluar yang selama ini hidup secara swadaya bisa merasakan adanya sentuhan konkrit dari negara, bukan hanya pesan-pesan sekedar menggugah nasionalisme. [ Red/Akt-13 ]
Munir Achmad
Aktual News
Foto :
MUHAMMAD JAMIL, SE MH.
Sumber: