Soal Percepatan Revisi UU Minerba, LPBH NU Maluku Dukung Ide Akademisi Unpatti

Soal Percepatan Revisi UU Minerba, LPBH NU Maluku Dukung Ide Akademisi Unpatti

Maluku, Aktual News-Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU Wilayah Maluku mendukung gagasan Staf Pengajar Unpatti, Siti Divinubun, yang mendesak percepatan pengesahan revisi UU Minerba oleh Pemerintah dan DPR RI. Gagasan ini dinilai sangat konstruktif karena mengusung konstruksi ide yang orisinil tetapi syarat makna, setidak-tidaknya menyentil hal-hal substansial yang terlupakan atau belum termuat dalam UU terdahulu misalnya mengenai partisipasi masyarakat teristimewa kalangan pemerhati-pertambangan serta warga lingkar tambang dalam pengawasan aktivitas penambangan oleh perusahaan-perusahaan tambang, tetapi dengan tidak melupakan syarat-syarat formil yang dapat mencederai keabsahan sebuah undang-undang.
Ungkapan dukungan ini datang dari Ketua LPBH NU Wilayah Maluku, Samra SH, yang disampaikan kepada Munir Akhmad dari media ini melalui saluran telepon selulernya, siang hari Minggu (22/12) pkl 11:15WIB. Dia mengaku spontan tersentak ingin segera menghubungi media ini untuk menyampaikan apresiasi dan dukungannya atas berita itu, walau pun baru beberapa saat saja beritanya selesai dibaca. Sebagaimana diketahui, media ini pada edisi pagi hari Minggu (22/12) menayangkan berita tentang desakan dari Staf Pengajar Unpatti Ambon yang sedang menyelesaikan pendidikan S-3 pada salah satu perguruan-tinggi negeri di Jakarta, Sitti Divinubun, yang mendorong Pemerintah dan DPR RI perlu bergegas menyelesaikan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Baca Berita : Akademisi Dorong Percepatan UU Minerba, edisi Minggu 22/12). Divinubun dalam keterangannya beberapa hari lalu sebagaimana dimuat dalam berita itu, justru melihat ada kevacuman dalam UU yang terdahulu, yaitu UU No. 4 tahun 2009, yang oleh karena itu menjadi keniscayaan untuk segera direvisi. Fokus dari pada konsep revisi Divinubun, yaitu tentang tidak diaturnya peran-serta atau partisipasi masyarakat mengawasi aktivitas penambangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan tambang, sebagaimana pengaturannya dalam beberapa UU lain, misalnya : UU Tipikor, UU Pelayanan Publik dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal menurut dia, aktivitas penambangan pada hakekatnya berorientasi pembentukan laba (profit-making) bagi perusahaan, sedangkan dalam prakteknya merupakan pengurasan potensi sumber daya alam dan lingkungan termasuk hutan dan air yang selalu berhubungan dengan kepentingan hajat hidup orang banyak terutama warga masyarakat di pelosok pedesaan yang lebih banyak hidup dengan bercocok tanam. Samra mengaku, selama kurang lebih 2 (dua) bulan keberadaannya di ibukota dalam rangka urusan kelembagaan, pihaknya secara khusus mengalokasikan waktu melakukan kajian yuridis antara lain dengan berusaha mengungkapkan hal-hal apa saja yang masih vacuum atau belum diatur di dalam UU terdahulu No. 4 tahun 2009. Rangkaian kajian ini dilakukan dengan membentuk sebuah “tim adhock” dipimpin Mohammad Taufiq SH, Penasihat LPBH NU Wilayah Maluku. Selanjutnya hasil-kajiannya ini akan disampaikan kepada DPR RI dengan memanfaatkan norma UU No. 12 tahun 2011 dan UU MD3 serta Tata-Tertib DPR RI ibarat sebagai pintu masuk. Dikatakan, dari rangkaian kajiannya terungkap benar ada banyak kevacuman hukum yang mestinya ada tetapi ternyata tidak diatur dalam UU terdahulu, antara lain : hak masyarakat ikut mengawasi aktivitas penambangan serta hak mencari mendapatkan dan melaporkan sesuatu informasi tentang aktivitas penambangan yang menyimpangi aturan perundang-undangan atau merugikan warga lebih-lebih masyarakat lingkar-tambang sebagaimana dalam UU Penyelenggaraan Negara No. 28 tahun 1999 dan UU Tipikor No. 31 tahun 1999 maupun UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disamping itu, kata Samra, beberapa hal lain yang penting diatur dalam revisi nanti, antara lain : Sosialisasi harus representatif setidak-tidaknya 25% jumlah KK pada tiap Desa yang dibuktikan melalui absensi kehadiran warga, Data Perusahaan termasuk Izin-Izin (IPPKH, IUP, Amdal, dll) ditempel di tempat umum dan terbuka setidak-tidaknya pada Kantor Desa atau suatu Posko Umum termasuk peta lahan dalam skala kecil/gambar besar agar warga mudah memahami kedudukan dan batas-batas lahan, Perusahaan dilarang mencegah warga memasuki kebun/ladang miliknya bila belum dibayar ganti-rugi tanah mau pun tanaman yang dibuktikan dengan Berita Acara ditanda tangani kedua belah pihak disaksikan 2 (dua) orang lain disahkan Lurah/Kepala Desa, Aparat keamanan dilarang menunjukan keberpihakan bila ada konflik kepentingan antara Perusahaan dengan Warga mengenai tanah dan tanaman, kecuali atas izin Pemerintah Setempat setidak-tidaknya Lurah/Kepala Desa bilamana konflik itu nyata-nyata sudah berubah menjadi konflik fisik, Kepala Daerah yang melalaikan kewajiban pengawasan yang diatur dalam UU dikenakan sangsi tegas bila perlu dikenakan skorsing dalam waktu tertentu (misalnya : 3 bulan, 6 bulan hingga 1 tahun) dengan menunjuk Wakil Kepala Daerah sebagai Pelaksana Tugas atau seseorang Pejabat Struktural lainnya bila kedua-duanya terkena sangsi. Temuan-temuan dari rangkaian kajian ini, katanya, memiliki dasar argumentasi hukum mau pun dasar fakta dari sejumlah kasus riil pada beberapa perusahaan tambang antara lain di Pulau Romang dan Pulau Wetar di Maluku Barat Daya serta Halmahera dan Pulau Taliabu di Maluku Utara, maka oleh karena itu, sejalan dengan Divinubun dia juga ikut mendesak Pemerintah dan DPR RI menyegerakan revisi UU Pertambangan, asalkan dengan memperhatikan sungguh-sungguh hal-hal substansial yang perlu dimuat dan tanpa mengabaikan norma pembentukan perundang-undangan sebagaimana dikonstatir Divinubun. [ Red/Akt-13 ]
    Aktual News
Foto :
SAMRA, Ketua LPBH NU Maluku (kiri).

Sumber: