Jumat 20-12-2019,16:22 WIB
Jakarta, Aktual News-Keanggotaan DPR RI dan DPRD biasanya dengan bangga menyebut dirinya “wakil rakyat” tetapi kalau mau ditemui saja sudah dipersulit dengan aneka-ragam prosedur yang juga terasa sangat berkelit-belit, tentu sampai dunia kiamat sekali pun tidak bisa sepenuhnya menunaikan fungsi perwakilan rakyat tersebut. Sebaliknya, statusnya sebagai anggota DPR atau DPRD yang diperoleh dari “suara rakyat” hanya bisa dijadikan sebagai obyek gagah-gagahan belaka atau obyek untuk menuntut dihormati dengan sebutan “Yang Terhormat” tidak soal apakah orang yang dihadapinya itu seorang anak balita atau mungkin seseorang yang sudah berusia uzur, sedangkan segala fasilitas yang diberikan oleh negara/daerah dari pembelanjaan anggaran yang dibebankan kepada rakyat hanya dijadikan sekedar sarana mengais peluang-peluang tertentu bagi dirinya atau kaum-kerabat atau kroni-kroninya saja.
Apalagi berkenaan
“era keterbukaan” sekarang, seyogianya pimpinan dan para anggota DPR atau pun DPRD sudah harus mulai belajar membuka diri menerima kedatangan warga dengan prosedur yang sesederhana mungkin. Sebagai contoh, bagi seseorang tamu/pengunjung misalnya, kalau pada Pos Depan di pintu gerbang masuk Kompleks MPR/DPR/DPD di Senayan sudah diminta menyerahkan KTP atau Bukti-Diri, maka petugas-petugas pada Pos Pemeriksaan di dalam Gedung Nusantara I jangan lagi meminta KTP atau Bukti-Diri melainkan sudah cukup dengan memperlihatkan Kartu-Kunjungan yang didapat dari Petugas di Pos Gerbong Depan. Jika kembali diminta KTP atau Bukti-Diri, seseorang warga Desa yang datang ke Senayan dengan harapan akan mengajukan sesuatu kepentingannya mau tak mau harus kembali sambil mengelus dada, karena tidak banyak orang desa memiliki bukti-diri lain (misalnya : SIM), kecuali KTP.
Adalah Jamrudin, S.Pd., seorang aktivis asal Maluku Utara, yang spontan memuntahkan uneg-unegnya ini ketika secara kebetulan menemui media ini saat makan-malam bersama beberapa koleganya di Rumah-Makan "Simpang Raya" Jln Kramat-Raya Jakarta, pada malam hari Minggu (15/12) lalu. Uneg-Uneg ini menurut pengakuannya gara-gara belitan-belitan prosedur yang ditemuinya saat berkunjung ke Kompleks DPR RI di Senayan, Kamis (12/4). Jamrudin mengaku terkejut bahkan sempat kesal, ketika tiba di Pos Penjagaan di Gedung Nusantara I dia kembali diminta kembali mendaftar dengan menyerahkan bukti-diri (KTP), padahal sebelumnya di Pos Penjagaan gerbang-masuk KTP sudah diminta sehingga mau tak mau harus diserahkan. Untung saja, begitu penuturannya, saat itu dia bersama beberapa teman lain juga sehingga gilirannya salah satu teman lainnya yang harus tampil menyerahkan KTPnya. Menyela keterangannya tentang KTP, Jamrudin kemudian mengatakan : “Abang wartawan kan, tolong ditulis ya, saya benar-benar kesal bahkan merasa muak menyaksikan belitan-belitan prosedur semacam ini, karena terasa malah hanya mempersulit warga masyarakat, apalagi terhadap seseorang warga desa seperti saya yang lazimnya hanya memiliki KTP sebagai tanda bukti diri tidak memiliki SIM atau lain-lainnya”. Ditanyakan apakah hanya gara-gara persoalan KTP saja dirinya kelihatan begitu murka, Jamrudin mengaku itu hanya salah satu. Dia lalu mengajak duduk pada meja terpisah yang kosong, kemudian diteruskan dengan bertutur panjang-lebar mengenai apa yang ditemuinya.
Dikatakan, kedatangannya ke Senayan hari itu bersama beberapa orang lain, antara lain terdapat 2 (dua) orang advokat bersama seorang rekannya yang sama-sama datang dari Maluku Utara,
Hendra Timbuleng. Kedatangannya pada saat itu bermaksud menemui Ketua Komisi VII dan Ketua Fraksi PKB DPR RI, selain mengantar surat-surat yang ditujukan kepada Komisi VII dan beberapa Fraksi antara lain Fraksi PKB, Fraksi Nasdem, Fraksi PAN dan Fraksi PKS. Dalam perjalanan dia berusaha mengembangkan optimisme akan berhasil menemui orang-orang yang didatangi pada saat itu agar bisa segera kembali pulang ke Maluku Utara karena persediaan anggarannya dirasakan sangat minim. Apalagi salah satu dari ke-2 praktisi hukum itu dahulu bertugas sebagai Staf Pribadi pada
Midin Lamany SH ketika praktisi-hukum senior ini menjabat sebagai Anggota DPD-RI periode 2004-2009.
Kesalnya, seakan belum cukup dengan diminta menyerahkan KTP untuk kedua kali, begitu dijelaskan mengenai maksud kedatangannya menemui beberapa anggota DPR-RI terkait sebuah kasus yang menimbulkan kerugian ekonomi yang luas serta memerosotkan daya-beli masyarakat Jamrudin bersama teman-temannya disuruh lebih dahulu membuat surat permohonan bertamu, malah ditambah lagi ketika menyatakan keinginan menyampaikan surat-surat yang sudah disiapkan langsung kepada masing-masing Fraksi diarahkan untuk menyerahkannya pada pihak Sekretariat Jenderal di gedung depan gedung Perpustakaan, padahal menurut salah satu advokat yang mendampinginya saat itu dari pengalamannya surat-suratnya sejak tahun 2010-2012 tidak pernah mendapat respon sehingga dikhawatirkan tidak sampai kepada Pimpinan atau anggota DPR RI yang dituju.
Untung saja melalui akses advokat lain yang mendampinginya Jamrudin dkk akhirnya bisa berhasil langsung menyerahkan suratnya yang dialamatkan kepada Fraksi PKS di ruang Sekretariatnya di lantai-3 gedung Nusantara-1, sedangkan untuk fraksi-fraksi lain mau pun Komisi VII dibawa pulang. Niat untuk menyerahkannya diurungkan, sebab dari Petugas Security di depan ruang Fraksi PKS diperoleh keterangan bila mau masuk mengantar surat ke Fraksi lain harus kembali melapor ulang pada Pos-Penjagaan awal di Gedung Nusantara-1 tadi, sedangkan dia dan teman-temannya tidak ada akses di Fraksi lain-lain mau pun Komisi VII apalagi Petugas Pos-Penjagaan tadi mau-maunya hanya diserahkan pada pihak Sekretariat Jenderal saja tak perlu mendatangi Fraksi atau Komisi. Dia cuma berharap, kelak akan ada waktu dan ada momentum yang memungkinkan surat-surat penting itu bisa diserahkan langsung kepada alamatnya masing-masing.[ Red/Akt-13 ]