Meski coba ditunjukkan di Gelar Perkara Khusus, Tetap saja "Ijazah" 99,9% Palsu

Meski coba ditunjukkan di Gelar Perkara Khusus, Tetap saja

Poto/Sukabumi Ekspres --

Jakarta, AktualNews- Sebenarnya saya sudah tidak perlu lagi menuliskan soal ini, sebab selain peristiwa Gelar Perkara Khusus (GPK)-nya sudah hampir seminggu berlalu (Senin, 15/12/2025 silam) dilaksanakan di Polda Metro Jaya (PMJ) dalam beberapa Live Dialog di TV mainstream (Rakyat Bersuara iNews Selasa 16/12/2025, Indonesia Kita GarudaTV dan Head-to-Head CNN 17/12/2025 serta Sapa Malam KompasTV 18/12/2025) bahkan beberapa PodCast seperti SentanaTV dan Madilog ForumTV, hal inipun sudah saya bahas secara lesan.

Namun sampai saat artikel ini ditulis, Minggu 21/12/2025, masih sangat banyak pertanyaan diajukan ke saya baik melalui Japri WhatsApp (WA) maupun Call langsung, dimana intinya ingin memperoleh penegasan mengapa Saya, Dr Rismon dan dr Tifa khususnya, serta para kuasa hukum kami yang masih berpenglihatan normal umumnya, alias "mata dan hatinya tidak tertutup sesuatu", sepakat menyatakan bahwa "selembar kertas" yang maksudnya akan dipaksakan sebagai "Ijazah" pada kenyatannya secara teknis tetap terbukti 99,9% palsu.

BACA JUGA:Jokowi dan Gibran Harus Segera Diperiksa

Jelasnya secara teknis, selembar kertas yang masih dalam Map berlapis plastik (dan tidak dibuka samasekali, alias kertas tersebut tidak dikeluarkan dari plastiknya) tidak bisa dikatakan "sudah diperiksa apalagi diteliti / dianalisa teknis" karena memang tidak dipegang apalagi sampai diiraba. Harus diketahui oleh masyarakat Indonesia, atas syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh PMJ, semua peserta dalam GPK minggu lalu hanya maksimal diperbolehkan melihat dengan indra penglihatan biologis (alias mata) saja, tanpa satupun alat bantu apapun, Terwelu.

Padahal kalau memang mau fair dan tidak ada faktor-X yang disembunyikan apapun, Kertas dalam Map Plastik tersebut seharusnya bisa dipegang, diraba bahkan diterawang secara langsung, atau bahkan difoto dan dipindai dengan mesin scanner resolusi tinggi (hingga ribuan dpi / dot-per-inch) sebagaimana advis teknis dan ilmiah yang disampaikan oleh Pakar Photogrametri senior yang juga Ahli Forensik Analog dan Digital lulusan UGM asli, Prof Tono Saksono. Jadi situasi di Lantai 2 Gedung Reskrimum PMJ saat itu memang seperti suasana di Rumah JkW Sumber Solo pada tanggal 16/04/2025 dimana konon beberapa wartawan "ditunjukkan" juga selembar kertas tanpa boleh difoto apalagi divideo.

Namun demikian, Alhamdulillah dengan pengalaman pribadi selama lebih dari 48 (empat puluh tahun) silam mengenal dunia fotografi semenjak masih di Sekolah Dasar (SD) tahun 1977 saat jadi Fotografer setiap kegiatan sekolah (meski saat itu masih memakai Kamera ViewFinder Fujica GE, alias belum Kamera Profesional sekelas SLR / Single Lens Reflex Nikon EM hingga F5 jaman Analog dan D4 jaman digital sekarang) dan mulai belajar Cuci-cetak Foto mandiri di Kamar Gelap pribadi saat mata pelajaran ektra kulikuler di Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1981, saya langsung bisa mengetahui bahwa PasFoto seseorang berjas hitam dan berkacamata yang ada di selembar kertas itu sangat meragukan bila dikatakan dicetak semenjak tahun 1985 alias sudah berumur 40 (empat puluh) tahun dari sekarang.

Bagaimana tidak? Di era tahun 1985 silam, Studio Foto Profesional sekaligus Cuci cetak Foto seluloid di Jogja masih sangat terbatas dan bisa dihitung dengan jari tangan. Oleh karenanya nama-nama seperti Star Foto, Hwa Sin, Liek Kong, Herry Gunawan, Johnny Hendarta hingga Nasa, Aneka Warna, Duta dan Artha adalah nama-nama awal yang dikenal, namun juga terbilang mahal bagi kantong mahasiswa. Mengapa mahal, karena rata-rata studio foto ini menggunakan peralatan fotografi berupa Kamera Medium Format (ukuran Film 120 / 126 alias 6x4.5 / 6x6, bukan Film 135 biasa) dan Lampu Studio profesional. Belum lagi bahan kimia untuk Developer dan Fixernya memang berkualitas tinggi pada jamannya.

Secara teknis selain Kamera profesional untuk pemotretan, Laboratorium cetak foto (Kamar Gelap) memerlukan berbagai peralatan tersendiri, mulai dari Alat Cucinya: Changing Bag / Darkroom, Film Reel, Developing Tank, Thermometer, Timer, Measuring Cylinder, Film Clip, Squeegeer dan kemudian Alat Cetaknya: Enlarger (Lensa enlarger dan Negative carrier), Easel, Darkroom Lamp (Safelight), Tray (4 buah: developer, stop bath, fixer, dan air),Tongs, Print Washer. Selain itu ada beberapa Bahan Kimia yang digunakan seperti D-76, HC-110, Rodina, Asam asetat atau Citric acid, Wetting Agent (Photo-Flo). Jangan sampai salah menggunakan H2SO4 / Asam Sulfat, sebagaimana Fufufafa alias GRR pernah menyarankan Ibu Hamil meminumnya dulu, padahal harusnya Asam Folat, Ambyar.

Penggunaan bahan-bahan kimia yang benar dan terukur diatas sangat penting, sebab memang ada juga waktu itu beberapa "Laboratorium Kaki Lima" alias Tukang Cetak Foto pinggir jalan menggunakan Gerobak dan Lampu Petromax yang akrab dengan mahasiswa karena lebih ekonomis tarifnya dibanding studio foto profesional diatas, namun jelas Ada harga ada kualitas, maka hasil cetak PasFoto dari Gerobak ini tidak awet dan sangat mudah terjadinya proses yang disebut Fading (warna memudar / kontras hilang), Color Shift (Warna berubah, misalnya jadi kuning, merah, magenta atau Sepia), Silver Mirroring (kilap keperakan di permukaan foto hitam putih), Yellowing (kertas menguning karena oksidasi & sisa fixer), .Vinegar Syndrome (khusus film seluloid acetate, film berbau asam, melengkung, rapuh) dan Image Bleaching (gambar hilang sebagian atau seluruhnya).

Oleh karenanya, kualitas PasFoto Orang berjas hitam dan berkacamata yang berada pada selembar kertas yang ditunjukkan saat GPK di PMJ kemarin yang masih sangat Tajam dan Kontras sangat tidak berkesuaian dengan kondisi serta fakta teknis apabila benar PasFoto tersebut dicetak tahun 1985 alias 40 tahun silam bila dihitung tahun 2025 ini, kecuali memang PasFoto tersebut hasil Cetakan menggunakan Printer InkJet atau Laser modern dengan sistem Digital. Artinya cetakan PasFoto terebut sama seperti "Keajaiban Font Times New Roman" di Skripsi sebagaimana hasil analisis sebelumnya yang melampaui jaman, karena Font tersebut di Windows baru dikenal setelah tahun 1992.

BACA JUGA:Rekor Jokowi Pelihara Koruptor Jauh Lebih Besar Daripada Presiden Terdahulu?

Kesimpulannya, sebagai Ketua Publisia Photo Club (PPC) UGM 1988-1990, Sekretaris Himpunan Seni Foto Amatir (HISFA) 1992-1994, Anggota Dewan Penyantun Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) 2000-2005, Wakil Ketua Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI) 2006-2008 dan pernah menjadi Juara Nasional 1 Foto Perkrebunan 1995, Juara Nasional 1 Foto Parpostel 1995, Juara Nasional 2 Foto Iptek 1998, Juara 1 Rally Foto Fuji di Padang 2002, Juara 1 Rally Foto Fuji di Bandung, Jakarta & Jogja 2003 dan juga menjadi Dosen Fotografi di UGM (1991-2000) dan ISI (1994-2004) saya dengan tegas sekalilagi mengatakan bahwa Selembar Kertas yang ditunjukkan saat GPK di PMJ lalu kalau mau "dipaksakan" sebagai "Ijazah FKT UGM tahun 1985" -belum lagi kalau diuji benar Watermark, Emboss dan Kertasnya secara Carbon Dating- maka bisa dikatakan hal tersebut adalah 99,9% PALSU ... !***

 

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen - Jakarta, Minggu 21 Desember 2025

Share
Berita Lainnya