Di Balik Isu Ijazah Palsu Jokowi : Antara Fakta, Opini, dan Kepentingan Politik

image/tangkap layar YouTube/kompas--
Jakarta, AktualNews-Belakangan ini publik dikejutkan oleh viralnya isu tentang ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Tak hanya menjadi perbincangan hangat di media sosial, isu ini juga ramai diangkat oleh media-media mainstream. Namun yang menarik untuk dicermati adalah momentum kemunculan isu ini: mengapa baru sekarang muncul dan menjadi begitu gaduh, ketika putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, resmi menjabat sebagai Wakil Presiden?
Pertanyaan ini tentu membuka ruang tafsir yang lebih luas. Apakah ini murni soal kebenaran, atau ada unsur lain yang tersembunyi di baliknya? Dalam dunia politik, tak ada yang benar-benar kebetulan. Setiap isu yang diangkat, apalagi menyangkut tokoh penting seperti Presiden RI, hampir selalu punya muatan politik, baik sebagai strategi menyerang, upaya menjatuhkan legitimasi, maupun sebagai bentuk resistensi terhadap dinamika kekuasaan.
BACA JUGA:Mengenang Perjuangan dan Inspirasi bagi Generasi Milenial di hari Kartini
Munculnya kembali isu lama tentang ijazah palsu Jokowi di tengah suasana pasca pemilu yang masih memanas patut dicurigai sebagai bagian dari narasi politik tertentu. Bisa jadi ini adalah bentuk perlawanan dari kelompok-kelompok yang merasa dirugikan atau tidak puas atas hasil pemilu, atau justru manuver dari pihak yang ingin menciptakan instabilitas dalam pemerintahan baru yang sedang bersiap berkuasa.
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, publik perlu lebih bijak dalam menilai. Kritik dan pertanyaan sah-sah saja, apalagi terhadap pejabat publik. Tapi saat isu sensitif semacam ini disebarkan secara masif tanpa kejelasan bukti yang kuat, ia bisa menjadi alat provokasi dan pembelokan perhatian publik dari isu-isu strategis lainnya.
BACA JUGA:Strategi Presiden Prabowo Subianto Membangun Dalam Paradoks Indonesia Yang Mencemaskan
Yang tak kalah penting, isu ini juga menguji kedewasaan demokrasi kita. Apakah kita mampu menyikapi polemik dengan logika dan data, atau justru larut dalam emosi dan prasangka? Dan lebih jauh lagi, apakah hukum dan lembaga resmi kita mampu menangani isu ini secara adil dan transparan?
Pada akhirnya, publik berhak tahu kebenaran, tapi jangan sampai kebenaran dikaburkan oleh kepentingan politik yang tersembunyi.***
Sumber: