Tentang Pasar Yang Mengisi Pagi Hariku
Sumber Ilustrasi : Karya Dandan SA
Jakarta, AktualNews - Embun pagi yang membasahi alam semesta, matahari siang yang masih belum menampakkan diri. Sebentar lagi akan segera terang benderang, seiring matahari yang semakin bercahaya. Cuaca berkabut tipis, meski tak ada mendung lagi. Tadi malam hujan cukup deras, tampak ketika tanah masih basah dan lembab. Tetes embun masih tersisa diantara dedaunan dipohon sekitar pasar, segar sekali udara pagi ini. Sesekali kuhirup udara segar dengan sepenuh hati, memenuhi seluruh rongga dadaku. Lalu aku mulai melakukan aktifitasku dikala suara kicauan burung yang mengiringi pagiku.
Mempersiapkan sayuran segar yang akan segera diperjual belikan, suara keramaian masyarakat semakin memenuhi pagi yang cerah. Tak terasa hari yang tak bisa ditebak, membuat siang ini terasa berbeda. Sinar surya tak secerah dipagi tadi, awan kelabu terlihat menggelayut di angkasa. Desir angin mulai terasa dingin, mungkin hujan akan segera datang menyapa para makhluk hidup dibumi. Aku yang sejak pagi menyusuri lorong-lorong pasar yang ramai di sini. Tempat yang sangat akrab denganku, hampir setengah hari ku habiskan di tempat ini. Tempat inilah yang menjanjikan kehidupan untukku.
BACA JUGA:Terpaksa Hanya Aku Simpan
Dulu, tempat ini sangat ramai setiap hari aku bisa mendapatkan lembaran rupiah dengan mudah. Itu sebabnya aku selalu menghabiskan pagi hariku, dengan setumpukan sayur segar yang dijajahkan disekeliling lorong pasar ini. Tapi, itu dulu sebelum pandemi melanda negeri ini. Semenjak pandemi, sudah berbulan-bulan tempat ini terasa semakin hari semakin sepi.
Letaknya dipusat kota, tidak menutup kemungkinan untuk mendatangkan kesunyian. Rasa takut yang disebabkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja yang berkeliling di sini. Dengan suara keras dan lantam, meneriaki setiap warga pasar dengan bunyi ‘Jaga jarak!, Gunakan maskermu!, Jangan berkerumun!’. Walaupun faktanya, sangat sulit untuk tidak berkerumun ditengah titik perkumpulan manusia yang mencari nafkah dan tempat masyarakat mencari barang yang mereka butuhkan setiap hari. Rintik hujan yang mulai menyapa, lalu ku cari tempat untuk meneduh. Sebuah toko tua yang cukup besar, lalu ku langkahkan kaki ke arah toko tersebut.
Toko yang terlihat sudah tutup itu adalah tujuan kaki ini melangkah. Dengan rasa lelah, bahuku yang mulai tersandar pada dinding toko dan mata yang tertuju pada rintik hujan yang bertambah deras disetiap detiknya. Dengan harum khas dikala hujan mulai turun, bercampur dengan suara tetesan hujan yg bertemu dengan atap rumah setiap warga. Tubuhku yang letih, membuat kaki ini harus beristirahat dengan meluruskannya dan duduk di lantai halaman toko tersebut. Jalanan pasar tradisional bukan seperti pasar modren yang ada di kota-kota besar, jalan yang berlubang dipenuhi oleh genangan air. Tak jarang, jika hujan yang semakin deras membuat genangan air yang semakin tinggi disetiap detiknya. Kaki yang dipenuhi dengan lumpur, adalah salah satu ciri khas pasar tradisional terutama disaat hujan deras. Terhambat air yang turun dari langit, segala jenis kegiatan masyakat pun terhenti sejenak.
Tubuhku yang sedang beristirahat, tak hentinya melihat setiap warga yang lewat melintasiku. Melihat mereka yang sibuk membawa tentengan plastik yang berwarna-warni, dengan menutup kepala mereka agar tidak basah diguyur hujan. Setiap orang yang sibuk mencari berbagai macam kebutuhan mereka masing-masing, dan aksi saling tawar-menawar antar penjual dan pembeli hanya dapat ditemukan di pasar tradisional.
Harga eceran, jauh lebih murah tak sebanding dengan pasar modren yang ada dikota besar. Hujan mulai deras, kupandangi tetesan air yang jatuh di atap emperan toko tempatku berteduh. Pikiranku melayang jauh, menyusuri kepingan memori dalam hidupku. Tak terasa, air mata menetes seiring hujan yang semakin deras. Mengingat lelahnya bertahan hidup, ditengah pertempuran dunia yang semakin berkembang ini.***
Sumber: