Jakarta, Aktual News-25 November 2021 – Pada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) tahun 2021, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, LBH APIK Sulawesi Selatan, SANTAI, Project Multatuli, KBR dan Oxfam di Indonesia mengadakan diskusi publik dan media gathering secara luring dan daring yang mengangkat tema “30 Tahun Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Dibalik Ganjalan Tantangan”. Sudah 30 tahun perjalanan advokasi penghapusan Kekerasan Berbasis Gender, namun tantangan selama masa pandemi malah meningkatkan Kekerasan Berbasis Gender dan memperkuat ketimpangan dalam kesetaraan gender. Pemerintah perlu melindungi perempuan dan anak perempuan agar aman dari ancaman berbagai jenis kekerasan yang rentan dialaminya. Pandemi Covid-19 menjadi faktor lonjakan tingkat Kekerasan Berbasis Gender. Laporan The Ignored Pandemic: The Dual Crisis of Gender-Based Violence and COVID-19 yang dipublikasikan oleh Oxfam Internasional, menunjukkan adanya lonjakan sebesar 22 hingga 111 persen pada jumlah laporan yang dilakukan oleh para penyintas ke layanan bantuan terkait kekerasan berbasis gender di 10 negara (Argentina, Cina, Kolombia, Siprus, Italia, Malaysia, Somalia, Afrika Selatan, Inggris, dan Tunisia) selama masa kuncitara. Realitas serupa terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan melaporkan adanya peningkatan aduan kekerasan terhadap perempuan sebesar 40% di tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019, dimana 65% dari jumlah kasus tersebut berkaitan dengan kejahatan online/siber. Perkembangan teknologi yang semestinya menjadi alat bantu yang mendukung kemajuan manusia, berbalik menjadi media berkembangnya Kekerasan Berbasis Gender di dunia maya yang dikenal sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Pandemi COVID-19 yang membatasi mobilitas orang kini juga meningkatkan intensitas interaksi di dunia maya, sehingga tendensi meningkatnya angka KBGO pun tidak dapat dihindari. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2021, angka kasus KBGO yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan meningkat tajam yaitu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. “Sangat disayangkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa isu KBGO ini belum urgent, padahal isu ini pun masih puncak gunung es. Bahaya yang ada didalamnya masih belum terkuak dan jika dibuka, sebetulnya isunya lebih rumit dari sekadar kekerasan berbasis online.” Ujar Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli. “16 HAKTP yang dimulai hari ini hingga 10 Desember 2021 memberikan kesempatan kepada pemerintah, legislatif, organisasi masyarakat sipil, serta masyarakat luas untuk mendorong percepatan aksi dalam memberikan kerangka perlindungan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan dan anak perempuan dari segala ancaman dan risiko yang dialaminya. Baik di Indonesia maupun secara global, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat, temasuk mendorong peningkatan perkawinan anak selama pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemulihan pandemi harus dilakukan secara adil dengan memastikan korban dan penyintas Kekerasan Berbasis Gender, termasuk KBGO mendapatkan layanan publik yang diperlukan.” Ujar Maria Lauranti, Country Director Oxfam di Indonesia. Negara dan pemerintah juga perlu memastikan adanya respons kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan berbasis gender yang lebih terkoordinasi, komprehensif, dan multi-sektoral yang memungkinkan para penyintas mengakses layanan yang efektif dan berkualitas baik secara luring maupun daring (online). Tantangan tersebut juga menjadi perhatian besar yang perlu dijawab oleh payung hukum perlindungan tindak kekerasan berbasis gender yaitu RUU TPKS yang sejak diusulkan pada tahun 2016 mengalami kemunduran dimana RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada tanggal 2 Juli 2020, dan berdasarkan laporan KOMPAKS pada 30 Agustus 2021, RUU TPKS baru yang disusun oleh Badan Legislatif DPR RI juga memangkas 85 pasal yang berisi perlindungan bagi korban. Upaya yang tak kalah penting dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap penghapusan kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan bertumpu pada persamaan dan pemahaman 2 konsep esensial dalam RUU TPKS yaitu terkait consent atau “persetujuan” dan semangat peraturan dalam memastikan adanya perlindungan bagi para korban dan para penyintas. “RUU TPKS jelas memiliki dampak publik, diajukan dan didorong oleh 120 lebih dari lembaga layanan masyarakat dan ratusan jaringan masyarakat sipil, sayangnya kita berhadapan dengan adanya hambatan dukungan politik. Sekarang perempuan sudah sadar haknya, pemerintah jangan sampai menganggap bahwa suara perempuan ini tidak penting.” Komentar Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis perempuan yang juga merupakan salah satu narasumber dari kegiatan media gathering ini. Upaya tersebut seharusnya dapat direalisasikan dengan langkah awal pengesahan RUU TPKS yang sudah tertunda selama lebih dari 2 tahun. Kurangnya komitmen pemerintah hingga langkah yang diambil dalam menghapuskan RUU TPKS dari Prolegnas Prioritas merupakan kemunduran yang memprihatinkan, progres yang berbanding terbalik dengan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan setidaknya setahun terakhir. “RUU TPKS harus dilihat dari spirit yang menunjukkan bahwa negara turun tangan dalam mengupayakan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual, dimana kebijakan yang ada saat ini belum kuat melindungi korban. Sangat disayangkan ada pihak-pihak yang melakukan penolakan dengan argumentasi yang justru melemahkan performa negara dalam menyelamatkan korban dan menjamin semua warga bangsa aman dari tindak pidana kekerasan seksual.” Ujar Mike Verawati, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia. Rezki dan Ilham selaku perwakilan kelompok remaja SANTAI dan LBH Apik juga turut serta menyuarakan pentingnya meningkatkan kesadaran akan bahaya Kekerasan Berbasis Gender di kalangan remaja dan anak. Remaja terutama remaja laki-laki memiliki peran penting dalam menghapus Kekerasan Berbasis Gender. “Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender, terutama Kekerasan Seksual tidak hanya dapat menyelamatkan perempuan, tapi juga menyelamatkan laki-laki dari stigma perilaku sempit terkait peran laki-laki yang mengekang selama ini.” Ujar Ilham. Pandemi telah memperburuk diskriminasi gender yang sudah berlangsung lama, dan hal ini telah meningkatkan kerentanan perempuan dan anak perempuan terhadap kekerasan dan pelecehan. Jika pemerintah tidak memulai strategi yang kuat dan mengalokasikan dana dan fasilitas dengan benar untuk mengatasi hal ini serta memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kelanjutan RUU TPKS, upaya yang telah dilakukan terkait pemberdayaan dan perlindungan perempuan dalam 30 tahun terakhir akan menjadi sia-sia. Tentang 16HAKTP Kampanye 16 Hari Aktivisme adalah kampanye internasional yang berlangsung selama 16 hari antara tanggal 25 November - Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dan 10 Desember - Hari Hak Asasi Manusia. Kampanye ini sudah berlangsung sejak tahun 1991, yang berarti sudah berlangsung selama 30 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender terutama kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. [ Red/Akt-01 ] AktualNews
30 Tahun Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Selama Pandemi Terjadi Peningkatan
Kamis 25-11-2021,19:30 WIB
Editor : Aktual News
Kategori :