Adik Kandung Saleh Azis Bantah Hak Almarhum Atas Tanah Cawang

Sabtu 11-09-2021,19:23 WIB
Reporter : Aktual News
Editor : Aktual News

Jakarta, Aktual News-Harta peninggalan seseorang yang sudah meninggal dunia sering membuat ahli waris mau pun keturunan-keturunan ahli waris terlibat konflik. Ini yang terjadi beberapa waktu lalu, atas sebidang tanah Girik No. 1633 yang letaknya sehamparan dengan tanah Girik No. 1632, di Jln Dewi Sartika Cawang Jakarta Timur. Bidang tanah ini jadi ajang rebut-rebutan hingga akhirnya saling berhadap-hadapan sebagai Penggugat dan Tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kabar rebut-rebutan sebidang tanah Girik ini dituturkan Bakheta Azis, seorang ibu berusia senja, salah satu ahli waris almarhum Azan Azis. Saat memberikan keterangan, Bakheta didampingi adiknya Barkun bersama beberapa ponakannya salah satu mengaku bernama Nizar. Memulai keterangannya Bakheta mengatakan, selama ini dirinya sekeluarga berdiam di Kota Tual di Maluku hanya sejak bulan lalu datang ke Jakarta ada urusan keluarga. Kedatangannya ini, tandasnya, sekaligus ingin memastikan kabar mengenai adanya gugatan dari isteri dan anak-anak almarhum kakaknya Saleh Azis terhadap adiknya Amir Azis bersama ponakannya Syarif Azis, anak adiknya almarhummah Sa’diah, terkait tanah yang terletak di Cawang Jakarta Timur. Sempat pula dia mengingatkan berita media ini beberapa waktu lalu (Baca Berita  : Ada Akta Wasiat, Ahli Waris Azan Azis Minta BPN Jak-Tim Tolak Keturunan Ahli Waris, edisi 16 Desember 2019), yang menampilkan dirinya bersama ke-2 saudaranya, Sa’diah dan Barkun.  Dalam berita itu dia meminta Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur jangan sampai terjebak berhubung ada kabar saat itu anak-anak Saleh Azis sedang memohon hak/sertifikat. Dimintai keterangannya lagi tentang asal-muasal tanah ini, menurut dia sesungguhnya bukan hak milik pribadi Saleh Azis melainkan milik orangtua mereka almarhum Azan Azis. Sebagaimana penuturannya : Saleh adalah kakak saya dan Amir itu adik saya, jadi posisi saya ada diantara keduanya, karena itu saya harus mengatakan apa yang benar. Seperti sudah saya jelaskan beberapa waktu lalu bersama ke-2 adik saya Sa’diah dan Barkun, tidak benar kalau ada orang yang mengaku seakan-akan tanah itu harta milik Saleh atau Mugbel. Tanah Itu milik orangtua kami Azan Azis yang dibeli dengan uang hasil usahanya pada Toko Jakarta di Tual, sehingga tentu merupakan hak bersama semua ahli waris dan harus diatur sesuai wasiat almarhum. Toko Jakarta, jelasnya, semula bernama Toko Batavia, didirikan Azan Azis tahun 1930an baru kemudian diganti namanya menjadi Toko Jakarta akhir tahun 1950an karena pasca proklamasi banyak nama perusahaan dan toko disesuaikan dengan suasana kemerdekaan. Saat nama Toko itu diganti, Azan Azis mau pun Awad Azis selaku anak laki-laki sulung tidak berstatus WNI, kecuali anak-anaknya dari isteri ke-2 Sarima Amat mulai Saleh sampai Amir, lagi pula sejak tahun 1952 Awad memilih bermukim di Jakarta, sehingga didaftarkan saja atas nama Saleh. Di Jakarta, tambahnya lagi, Awad merintis pengembangan usaha ayahnya, Azan Azis, dengan membuka usaha Penjualan Kayu Olahan, tak lama kemudian dibelikannya tanah dan bangunan di Kampung Melayu. Sewaktu-waktu saja Awad datang ke Tual mengantar barang dagangan sekaligus memberi arahan bagi adik-adiknya, Saleh dan lain-lain dalam mengelola Toko, apalagi Azan Azis masih tinggal di Tual tetapi sudah berusia senja malah sering sakit-sakitan. Lebih jauh dia menguraikan, tanah sehamparan di Cawang itu dibeli dari 2 (dua) orang pemilik asal berbeda, karena itu yang satunya dalam surat jual-beli ditulis nama kakaknya Mugbel Azis, yaitu Girik No.1632, sedangkan satunya lagi Girik No. 1633 atas nama kakaknya Saleh Azis. Pencantuman nama ke-2 kakaknya ini, kata dia, hanya cerminan kearifan ayahnya Azan Azis, sama halnya tanah dan bangunan di Jln Kampung Melayu Kecil II/7 Bukit Duri yang sekarang ditempati Amir Azis itu alas haknya ditulis atas nama Awad Azis, kakak laki-laki sulungnya dari lain ibu, dan sebidang tanah di Tual alas-hak atas nama kakaknya Fatum Azis alias “Tum”. Hanya ada sebidang tanah saja yang alas haknya ditulis atas nama almarhum, Azan Azis, terletak di Kota Tual dan sudah diterbitkan SHM No. 47. Kalau saja saat dibeli itu belum ada tanah dan bangunan di Kampung Melayu, tuturnya, mungkin sekali salah satu diantara Saleh atau Mugbel tak kebagian terpakai namanya. Ini bisa dipastikan, sebab Awad selain merupakan anak laki-laki sulung, juga dia telah bekerja keras ikut membantu Azan Azis mengelola usaha "Toko Jakarta" sejak awal berdiri tahun 1930an dengan nama "Toko Batavia", saat anak-anak lainnya masih kecil, bahkan sebagiannya juga belum lahir termasuk dia sendiri. Karena semuanya merupakan satu kesatuan harta-benda milik orangtuanya Azan Azis, maka sejak awal dibeli tahun 1960 itu, penguasaannya dalam rangka pengaturan dan pengawasan dilakoni Awad Azis, bersama-sama tanah dan bangunan di Jln Kampung Melayu. Itu sebabnya, tahun 1970an Awad membangun pagar tembok memagari seantero tanah ke-2 Girik itu secara utuh tak terpisah-pisah, hingga baru diperbaharui sebagiannya saat berada dalam penguasaan Mugbel pada tahun 1998, dengan biaya dari Amir yang saat itu masih berdiam di Tual. Tahun 1972, tambahnya, atas kesepakatan bersama anak-anak Azan Azis didirikan perseroan keluarga Fa Tri Daya dengan memposisikan Saleh Azis sebagai Direktur, dan tanah-tanah ini dijadikan modal dasar sebagai saham bersama sehingga menjadi “aset”, tetapi penguasaan dan pengaturan semuanya tetap dalam tangan Awad Azis sebagai anak laki-laki sulung. Karena sebelumnya atas kesepakatan bersama telah dijadikan aset perseroan, maka tak lama setelah jabatan Direktur Fa Tri Daya diserahkan Saleh Azis kepada Mubel Azis akhir tahun 1982, pada bulan Januari 1983 Awad Azis selaku anak laki-laki sulung sekaligus “Wasi” saat itu membuat sebuah Surat Keterangan yang menerangkan siapa-siapa saja ahli waris almarhum Azan Azis dengan bagian hak masing-masing sesuai hukum Islam dalam “prosentase (%) nilai saham”, kemudian dicopy dan dibagi-bagikan kepada semua ahliwaris mulai Saleh sampai Amir, tidak kecuali dirinya bersama saudara-saudara perempuannya FatumSa’diah dan Barkun. Ternyata, lanjut dia lagi, tak lama setelah menyerahkan jabatan Direktur Fa Tri Daya pada akhir tahun 1982 kepada Mugbel, pada tahun 1984 Saleh Azis duluan wafat, sehingga setelah Awad wafat pada tahun 1987 hak “Wasi” turun sesuai “wasiat Azan Azis” kepada Muhammad Azis, adik dari Saleh. Hanya karena “statusnya juga merupakan aset perseroan” sedangkan Mugbel selaku Direktur lebih sering berada di Jakarta untuk urusan kepentingan Fa Tri Daya mendiami rumah di Jln Kampung Melayu, sehingga dia yang mengatur dan mengawasi tanah sehamparan ini, sebaliknya Muhammad lebih fokus mengaturusaha di Tual. Lepas dari fakta-fakta itu, tambah dia dengan nada tandas, selama Saleh Azis masih hidup sejak tanah itu dibeli tahun 1960 sampai wafatnya pada tahun 1984 kurang lebih 24 (dua puluh empat) tahun penguasaan dalam rangka pengaturan dan pengawasan tanah itu secara utuh meliputi ke-2 Girik ditangani sepenuhnya oleh Awad Azis namun tidak pernah ada sesuatu keberatan atau protes atau pun tuntutan, begitu pula Mugbel Azis atas bagian tanah lainnya.
Menimpali Bakheta, ponakannya Nizar menambahkan, bahkan lebih jauh, masih 15 (lima belas) tahun lagi setelah Saleh Azis meninggal dunia baru jelang akhir tahun 1999 saat konflik Ambon anak-anaknya mulai beraksi sengaja datang menempati salah satu rumah di atas tanah Girik No. 1632 tetapi menolak mengakui tanah sehamparan itu warisan almarhum Azan Azis sehingga terjadi konflik dengan Mugbel Azis, berarti sudah 39 (tiga pilih sembilan) tahun lamanya.
Nizar juga mengaku pernah melihat beberapa bukti surat dan juga membaca isinya, antara lain 2 buah surat keputusan Direktur Fa Tri Daya ditandatangani Saleh Azis. Surat keputusan yang pertama memuat penyerahan ”jabatan Direktur Fa Tri Daya” kepada Mugbel Azis, sedangkan yang kedua mengatur “penyerahan aset-aset Fa Tri Daya” seiring dengan penyerahan jabatan. Di dalam lampiran surat keputusan kedua disebutkan aset-aset yang diserahkannnya antara lain meliputi tanah dan bangunan di Jln Kampung Melayu Kecil II/7 Bukit-Duri Tebet Jakarta-Selatan yang saat itu dihuni oleh Awad Azis sekeluarga serta tanah dan bangunan di Jln Dewi Sartika No. 375 Cawang yang luas totalnya diperkirakan 1.000 m2.
Dari fakta-fakta dan bukti-bukti ini Bakheta berharap semua pejabat instansi berwenang jangan sampai terjebak dalil-dalil yang direkayasa sehingga salah mendudukkan sesuatu hak yang kelak menuntut pertanggungjawaban baik di dunia maupun akhirat, baik Kepala Kantor Pertanahan maupun Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sebab menurut kebenarannya, hamparan tanah ke-2 Girik itu seutuhnya adalah milik almarhum Azan Azis, bukan Mugbel Azis dan juga bukan milik Saleh Azis. Istri dan anak-anaknya tentu ada hak, akan tetapi bukan menuntut seakan-akan milik almarhum melainkan atas dasar hak almarhum sebagai salah satu ahli waris Azan Azis sesuai surat wasiat, tukasnya mengakhiri pembicaraan.A [  Red/Akt-13/Munir Achmad ]
  Aktual News Foto : Bakheta bersama Barkun.
Tags :
Kategori :

Terkait