Foto : Soraya Dharmawaty Francis, di depan PN Jakarta Timur
Jakarta, Aktual News-Berbagai kalangan mengkritisi penerbitan PP No. 75 tahun 2021 yang baru saja diteken oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (2/7) lalu. PP yang merubah PP No. 68 tahun 2013 tentang Statuta UI ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai akal-akalan saja untuk mengamankan posisi Prof. Ari Kuncoro, Rektor UI yang juga mantan Komisaris Utama BNI, untuk menduduki jabatan Komisaris salah satu Bank BUMN sambil tetap merangkap jabatan sambil tetap menjabat pula sebagai Rektor UI.
Ternyata, ditengah riuhnya kritikan khalayak laksana membanjiri akun media sosial twitter dalam berbagai ekspresi tak terhitung berapa banyaknya itu, tercatat ada juga beberapa nama figur yang selama ini cukup dikenal luas ikut berkomentar dengan mengumbar kritikan-kritikan pedasnya terkait penerbitan PP 75 ini, antara lain ekonom UI sendiri, Faisal Basri, Anggota Fraksi PDIP DPR RI Arteria Dahlan dan Fadli Zoon, Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI.
Dalam akun twitternya yang dishare kemarin Kamis (21/7), Faisal Basri menulis : “kalau begini terus, rakyat makin tidak percaya kepada Presiden. Dalam kasus rektor UI, apakah mungkin presiden tidak membaca apa yang ia tanda tangani ? Membaca atau tidak tanggung jawab tetap di pundak yang menandatangani”.
Sementara itu, sebagaimana diberitakan media CNN Indonesia (Baca : “Arteria Dahlan PDIP Minta Kuncoro Mundur dari Rektor UI”, edisi Rabu 21/7), Arteria menilai rangkap jabatan oleh Ari Kuncoro justru merupakan perbuatan melawan hukum meski pun Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan PP yang baru. Penerbitan PP yang baru, menurut Arteria, tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugurkan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Ari Kuncoro. Ini bisa selesai, kata Legislator yang berlatar Praktisi Hukum ini, apabila Mendikbud Nadiem Makarim dan Menteri BUMN Erick Thohir mau menghormati hukum. Saking kesalnya, alumni UI berdarah Minang kelahiran Jakarta 1975 ini malah meminta Ari Kuncoro mundur dari jabatannya sebagai Rektor UI agar bebas menempati jabatan barunya sebagai Komisaris.
Sama halnya dengan Arteria Dahlan, politisi Partai Gerindra, Fadli Zoon, menilai penerbitan PP No. 75 tahun 2021 ini sebagai hal yang memalukan karena berhubungan dengan jabatan Ari Kuncoro pada BUMN. Penerbitan produk hukum baru ini menurut dia akan membuat rontoknya kepercayaan publik terhadap penguasa dan dunia akademik, namun bersamaan dengan itu dia juga berharap Jokowi tidak sempat membaca isinya saat ditandatangani.
Menyelingi kritikan-kritikan ini, ternyata pada laman media sosial twitter juga beredar sejumlah meme lucu. Salah seorang nitizen mengibaratkan Ari Kuncoro menabrak pohon, pohonnya yang ditebang, sementara nitizen lain menulis, “Rektor UI antri check ini di Bandara peasawatnya langsung masuk ruang tunggu”.
Menanyakan polemik ini pada praktisi hukum Soraya Dharmawaty Francis, sore hari Rabu (21/7), dia mengaku sebenarnya dirinya enggan mengomentari polemik ini karena terpantau beberapa hari ini telah menggelinding ibarat bola liar memantul ke mana-mana, dikhawatirkan, komentarnya malah ikut memperkeruh kondisi sosial sekarang yang masih dililit pandemic.
Hanya ketika didesak, perempuan yang juga alumni Fakultas Hukum UI asal Pulau Kisar Maluku Barat Daya ini mengatakan, andaikata dirinya berada pada posisi Ari Kuncoro, dipastikan dia akan menolak jabatan Komisaris agar bisa konsern menunaikan tugas dan tanggungjawab Rektor UI, sebab tugas dan tanggungjawab seorang rektor dinilai multi kompleks.
Dimintai penjelasan yang lebih detil tentang penggalan komentarnya itu, Soraya mengatakan : “Iya, kalau saja hari-hari ini saya yang berada pada posisi Prof Ari (Ari Kuncoro, Red), walau pun ada tawaran seperti itu pasti saya tolak, sebab secara manusiawi agak mustahil mampu menunaikan tugas dengan sepenuh hati sesuai sumpah jabatan ketika dilantik sebagai Rektor bilamana waktunya terpaksa harus berbagi gara-gara ada jabatan lain dengan orientasi serta interested yang berbeda, lagi pula jabatan komisaris pada sebuah BUMN itu juga adalah jabatan vital yang menuntut dilaksanakan pula dengan sepenuh hati”.
Di dalam frasa “sepenuh hati” itu, katanya, terkandung makna sepenuh-penuh pengabdian, meliputi pula sepenuh waktu sekaligus sepenuh perhatian.
Sederhananya di sana, tambah dia lagi, sebab dalam implementasinya, kedua-duanya sama-sama mengkonstruksikan peran-peran yang harus dilakoni oleh pengemban fungsi itu dengan sepenuh hati, dengan penuh penghayatannya sebagai “amanah yang kelak akan dipertanggung jawabkan”, padahal orientasi serta interest saling berbeda satu sama lain.
Namun di balik semua itu, menurut dia, ada beberapa kemungkinan yang menjadi latar belakang penunjukan Ari Kuncoro untuk menduduki jabatan rangkap, yang oleh karena itu PP No. 68 mau tak mau terpaksa direvisi dengan menerbitkan produk yang baru. Bisa saja sebagai ungkapan terima kasih yang disamarkan atas sikap Ari Kuncoro sebagai Rektor terhadap aksi BEM UI beberapa waktu lalu yang terkesan enggan kompromi ketika Jokowi disebut dengan istilah “King of Lip Service”, beda dibanding Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dll, atau bisa juga merupakan bagian dari upaya mengalihkan perhatian khalayak terhadap hal sesuatu yang sedang ingin ditutup-tutupi. Bila ternyata duduk alasannya pada kemungkinan kedua, katanya, mungkin sekali Jokowi ibarat hanya melihat kemasannya saja lantas dibubuhi tandatangan atau disetujui penerbitannya dengan sekedar membaca bunyi ekplisit atau redaksinya saja tanpa berusaha menangkap bahwa diam-diam di balik itu ada maksud lain.
Tetapi lebih lanjut menurut dia penerbitan PP No. 75 ini sebenarnya tak perlu dicemaskan atau pun dibesar-besarkan bila memang dinilai bertentangan dengan suatu UU. Apalagi dalam kondisi hari-hari ini, tuturnya, pandemi masih meradang sehingga mengakibatkan banyak orang mudah panik, bahkan ada yang berubah menjadi temperamental.
Asal saja terdapat cukup bukti PP ini ada pertentangan dengan suatu UU diatasnya, katanya, kita bisa memanfaatkan lembaga Juducial Revieuw melalui Mahkamah Agung RI. Hak ini justru dijamin secara konstitusional dalam psl 24 A ayat (1) UUD 1945 dan dijabarkan lebih detil dalam psl 9 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tinggal kita dudukkan saja, kira-kira UU apa yang disimpangi dengan diterbitkannya PP ini, di mana letaknya dan hal-hal apa yang disimpangi..
Menjawab pertanyaan apakah dirinya bersedia bila nantinya diminta menjadi Penasihat/Kuasa Hukum mendampingi pihak-pihak yang merasa keberatan merasa keberatan atas penerbitan PP 75 ini, dia mengaku tidak keberatan. Setiap konflik kepentingan memang harus didudukkan agar keseimbangan neraca keadilan di dalam masyarakat selalu bisa diwujudkan, dan jika para pihak sudah enggan bersua untuk mencari titik temu atas benturan kepentingan itu maka muaranya tak lain kecuali memohon vonis dari lembaga peradilan, tukas Soraya menutup keterangannya.[ Red/Akt-13/Munir Achmad ]
Aktual News
Foto : Soraya Dharmawaty Francis, di depan PN Jakarta Timur