Aktual News-Berita yang menggeparkan Tanah Papua, 1,8 Juta Orang Papua menandatangani Petisi ke PBB tentang terjadinya Genocide dan Pelanggaran HAM di Tanah Papua sehingga meminta Papua Merdeka. Dari pandangan Memoria Passionist tentang ingatan kelam atas tragedi masa lalu seperti yang ditulis oleh Dr. Benny Giay, sesungguh perjalanan orang Papua ke masa depan sedang menemukan “jembatan emas” untuk meninggalkan kelam tersebut dan memasuki era yang gilang gemilang untuk menyatakan diri sebagai warga dunia yang memasuki era modernisasi dan tehnologi yang hebat. Orang Papua bukan lagi pemakan manusia atau penduduk zaman batu seperti klaim mantan Presiden Amerka Serikat John F. Kennedy pada tahun 1961 tetapi kini Orang Papua kian hari kian terlihat dalam gerakan mengisi dunia moderen dengan kemampuan Civil Society yang kuat dan cerdas. Dengan maksud tidak membeda-bedakan perkembangan peradaban di Tanah Papua, gesekan sosial budaya yang dahulunya ber-pradigma bahwa masyarakat pedalaman sebagai satu himpunan masyarakat yang terbelakang dan di-istilakan “Udik” kini itu hanya sebuah prangsangka belaka, karena masyarakat tersebut telah menemukan ritme modernisasi bahkan berusaha maju ke depan barisan Civil Society dengan berani dan penuh percaya diri; untuk membuktikannya Lukas Enembe kini menduduki kursi Gubernur Provinsi Papua. Hal ini identik dengan perubahan peradaban orang hitam (negro) Amerika, sesudah dikeluarkannya UU Civil Right mengalami perkembangan pesat yang kemudian mengantar Barak Obama menjadi Presiden Amerika Serikat, demikianpun Nelson Mandela mengalahkan dominasi orang berkulit putih dengan UU Penghapusan Apartheid (UU tentang perbedaan kulit dan hak-hak azasi manusia), kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan. Sebenarnya apa yang mustahil dengan perjalanan sejarah dan peradaban di Tanah Papua, sehingga konotasi Papua Zona Konflik merupakan stempel sosial politik yang selalu marak? Atau tragedi Memoria Passionist menjadi alasan untuk menghentikan gerak maju peradaban Civil Society di Papua? Sesuatu kepastian yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau oleh suku bangsa apapun didunia ini adalah sejarah bukan masa depan, hari kemarin bukan hari ini tetapi sesungguhnya perubahan-perubahan yang terjadi sekarang di negeri Cenderawasih memberikan suatu harapan masa depan kepada penduduk negeri untuk memasuki dan menikmati kehidupan Civil Society yang kini mulai mengisi Tanah Papua. Tetapi jikalau hari ini orang Papua terus menerus menangisi Memoroa Passionist, dengan yakin kita menemukan diri suku bangsa kita seperti “ Patung Es Hagar yang menangisi kota Sodom dan Gomora yang terbakar api belerang murkah Allah dan akan kehilangan masa depan. Sesungguh berkat Tuhan telah jatuh ke Tanah Papua dan ditangan kita seperti Mana dan Burung Puyuh, atas sungutan Bangsa Israel yang tidak percaya Tangan Tuhan yang mengentar mereka. Undang Otonomi Khusus sangat identik dengan Undang-Undang Civil Right di Amerika Serikat atau Undang-Undang Penghapusan Apartheid di Afrika Selatan maupun Tangan Tuhan Allah yang memimpin Bangsa Israel dan menurunkan Mana dan Burung Puyuh di Padang gurun Sin di kaki bukit Sinai. Mengapa kita hendak bersungut-sungut ketika berkat Allah yang besar sudah kita terima? Undang-Undang Otonomi Khusus memberikan kita semangat perubahan untuk meninggikan harga diri kita setara dengan suku bangsa lain di Indonesia bahkan didunia? Laksana angin yang menghempas pintu dan terbuka, opportunitnity datang sekejap dalam perjalanan peradaban Papua, apakah sungutan adalah jawaban masa depan? Siapapun anda, pengakuan terhadap perubahan essensi sosial budaya, politik dan ekonomi menciptakan suatu kondisi baru yang penuh dengan persaingan, siapkah kita menghadapinya ketika seluruh kekuatan dan konsentrasi di pusatkan untuk membuktikan sejarah Memoria Passionis yang salah dan terus kehilangan energy untuk mengadaptasi modernisasi tehnologi yang kian canggih dalam peradaban baru Papua? Mari kita bersama simak Petisi 1,8 Juta Orang Papua diserahkan kepada Komisi HAM PBB melalui Universal Periodic Review Hak-Hak Azasi Manusia di Jenewa pada tanggal 25 Januari 2019 melalui Negara Vanuattu, dengan memberikan kesempatan kepada ULMWP yang diwakili oleh Benny Wenda. Ini peristiwa yang menggemparkan Papua, sebuah keinginan untuk didengar PBB sudah disampaikan ke PBB, dan harapan merdeka kian dekat. Itu harapan dari penantian panjang orang Papua dalam perjuangan Papua Merdeka. Banyak kalangan di komunitas Papua menilai hal ini sebagai sebuah sukses besar dimana masyarakat Papua digiring kedalam sebuah eforia politik merdeka yang sangat hebat dan dianggap sukses yang akan memerdekakan Papua sehingga mereka mengecam pendapat para pengamat politik internasional tentang effek lain dari usaha ini. Eforia merdeka seperti ini tidak beda dengan hadirnya 3 (tiga) orang Papua, masing-masing Franzalbert Joku, Rex Rumakiek dan Andy Ayamiseba sebagai Perwakilan Orang Papua dibawah payung Presidium Dewan Papua (PDP) pada Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa –Sidang 1000 Tahun- Sidang Millenium PBB tahun 2000 dibawah kursi Negara Vanuattu. Perbedaan hakiki dari kedua peristiwa ini bahwa di Sidang Umum Millenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, Menteri Luar Negeri Vanuattu- Barak Sopeh berpidato di Mimbar Millenium di New York tentang TUNTUTAN PAPUA MERDEKA dan Pidato resmi Negara Vanuattu itu didengar dan disambut baik oleh seluruh Perwakilan Negara Anggota PBB yang hadiri Sidang Umum Millenium PBB tahun 2000 sedangkan PETISI 1,8 Juta Orang Papua diserahkan oleh RegenVanu Menteri Luar Negeri Negara Vanuattu kepada Komisi Tinggi Hak Azasi Manusia PBB yang diterima oleh Ketua Komisi Michelle Bachelet pada tanggal 25 Januari 2019 pada Universal Periodic Review Hak Azasi Manusia di Jenewa. Peristiwa-peristiwa ini mengandung tanggung jawab politik internasional dimana Negara Vanuattu harus membuktikan bahwa benar sedang terjadi permasalahan Human Right yang serius di Tanah Papua. Tanpa disadari oleh orang Papua tentang proses dekolonisasi untuk Papua sudah lama tidak terdaftar di Komisi Dekolonisasi PBB tetapi dinyatakan bahwa status Papua adalah Wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hal itu adalah sah melalui Resolusi PBB Nomor 2504 Tahun 1969. Peristiwa Penyerahan PETISI 1,8 Juta tanda tangan orang Papua tentang Genocide dan Hak-hak Azasi Manusia dapat dianggap sebagai sebuah kemunduran karena Keputusan Sidang Millenium adalah Keputusan Tertinggi Sidang Umum PBB tentang Millenium Goals dimana Negara Indonesia menerima mandat Millenium untuk Papua dalam paket 25 Tahun Pembangunan melalui Komisi 24 PBB yaitu Komisi Dekolonisasi. Sementara Otonomi Khusus Papua merupakan penjelmaan secara Nasional dimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 merupakan implementasi Millenium Goals untuk memajukan perdamaian dan kesejahteraan di Tanah Papua. Masalah Papua Merdeka bukan masalah baru kepada PBB untuk segera bertindak setelah menerima Petisi 1,8 Juta Orang Papua tetapi telah memiliki kekuatan hukum atau legal standing yang sah oleh Sidang Umum PBB pada Tahun 1969 yaitu Resolusi PBB Nomor 2504. Pertanyaan yang hendak kita perdebatkan adalah apakah Resolusi 2504 PBB ini bisa di cabut melalui Sidang Umum PBB agar Papua dikembalikan kepada status Teritorial Dekolonisasi dan di daftar Daerah-Daerah Dekolonisasi yang masih harus dibebaskan? Tetapi hal demikian adalah sebuah usaha menjaring angin karena sisitim protokuler PBB tidak mengurus soal-soal demikian. Tetapi sungguhkah sepak terjang ULMWP yang direpresent Benny Wenda akan dapat menarik dukungan negara – negara anggota PBB untuk mendukung Papua Merdeka? Jawabannya tidak selalu menyenangkan karena keabsahan Petisi 1,8 Juta orang Papua tersebut harus dibuktikan otentikasinya oleh negara Vanuattu sementara perwakilan negara-negara sahabat yang membuka Kantor Kedutaan mereka di Indonesia akan menyatakan kebenaran keabsahan Petisi 1,8 Juta orang Papua melalui Duta Besar mereka di PBB. Hal ini perlu diketahui karena keabsahan dan seluruh proses pemberian hak Suara oleh 1,8 Juta orang Papua harus memenuhi persyaratan Penggunaan Hak melalui sebuah proses demokrasi yang diawasi oleh PBB. Petisi 1,8 Juta tersebut merupakan sebuah bentuk REFERANDUM DIAM dan SEPIHAK yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan Hak Suara, yang kemudian mungkin merupakan bahan perbandingan terhadap pelaksanaannya. Dibandingkan dengan Petisi 1026 Orang Papua atau Pepera, adalah REFERANDUM TERBUKA DAN TERBATAS, dilaksanakan dengan berdasarkan sebuah Keputusan PBB yang disebut New York Agreement, walaupun orang Papua sampai hari ini belum mengakuinya, tetapi proses keabsahannya telah selesai dilaksanakan memalui Resolusi 2504 Sidang Umum PBB dan hasilnya sudah final bahwa Papua adalah daerah integral Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Apabila dicermati dengan saksama, kepada masyarakat Papua yang belum pernah belajar dan mengerti proses diatas akan menerima secara mentah-mentah bahwa sesudah Petisi 1,8 Juta tersebut diserahkan maka PBB akan segera menangani kemerdekaan Papua. Ironisnya, hal ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk PROPOGANDA atau PROVOKASI karena tidak akan memberi banyak faedah politik yang baru tentang status Papua kecuali PBB mengambil langkah baru menentang keputusan-keputusan yang PBB tetapkan sendiri dan ribuan keputusan lain yang serupa direview atau menyatakan PBB bubar karena kepentingan sekelompok orang Papua. Jika kita menyimpulkan pandangan diatas, sesungguhnya seribu satu mata internasional kini tertuju ke Indonesia terutama ke Tanah Papua, sistim monitoring pelanggaran HAM menjadi utama untuk membuktikan bahwa kekuasaan negara Indonesia di Tanah Papua sesuai aturan Hak Azasi Manusia PBB, dan bila terlanggarkan maka sangsi PBB tak terelakan. Ada prinsip-prinsip kekuasaan atas wilayah negara sendiri dan pemerintah Indonesia melaksanakannya sesuai aturan dan prinsip itu, termasuk operasi militer di NDUGA. Pembantai 19 orang Sipil dikecam oleh berbagai pihak termasuk Komisi Hak Azasi Manusia PBB dan pada waktu yang bersamaan Petisi 1,8 Juta orang Papua menyatakan masalah yang sama kepada Komisi PBB yang sama. Inilah dilematik politik yang mengikat Papua dalam satu situasi yang memerlukan perhatian PBB sementara Pemerintah Indonesia melalui Duta Besar di PBB selalu menyatakan Papua adalah sebuah daerah yang terdiri dari 2 (dua) Propinsi yang sedang pesat maju memasuki kehidupan Civil Society. Inilah fakta yang tak dapat di pungkiri. Apalagi kemudian di ketahui bahwa peristiwa-peristiwa penggaran HAM yang kini disebar luaskan adalah secara fakta materiil bukan peristiwa yang terjadi di Tanah Papua. Seluruh sistim tehnologi canggih telah menelusuri bukti otentik peristiwa HAM tersebut dan tarnyata adalah pemalsuan belaka untuk kepentingan politik Papua Merdeka. Orang Papua secara sadar telah mensuplai informasi-informasi palsu yang sesungguhnya menjadi senjata makan tuan, melemahkan seluruh barisan perjuangan yang telah diletakan dasarnya sesuai dengan prinsip perjuangan sebuah bangsa untuk merdeka. Kita telah salah melakukan perjuangan menurut nasihat para LSM Internasional yang tidak faham tentang perjuangan Papua, kita masuk jerat yang kita pasang sendiri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam sebuah Laporan Human Rights ada terminologi bahasa yang cukup keras yaitu ’uncrroborated’ dalam kalimat ‘the supporter of West Papua cause tend to accept unccoroborated information form West Papua Activist atau kata ‘exaggerated’ dalam laporan yang menyebut bahwa ‘ the West Papuan groups circulated exaggerated reports of genocide, there is no evidance. Hal ini seirama dengan apa yang pernah penulis katakan ‘ MERDEKA HARGA MATI, NKRI HARGA MATI, YANG SETENGAH MATI ADALAH RAKYAT PAPUA. [ Red/Akt-01] Oleh John AL Norotouw Pengamat masalah Sosialpolitik Papua
Petisi 1,8 Juta Orang Papua ke PBB
Rabu 20-02-2019,11:09 WIB
Editor : Aktual News
Kategori :