Jakarta, AktualNews- Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dilaporkan tidak menghadiri agenda sidang perkara perdata yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara: 663/Pdt.G/2025/PN Jkt Pst, dalam perkara gugatan senilai Rp 5.000 triliun yang diajukan oleh warga negara Syakur Ali Mahdi (asal Kota Malang, Jawa Timur) dan Advokat M. Taufik Budiman (asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat).
Sidang yang dijadwalkan pada Kamis, 13 November 2025 tersebut merupakan lanjutan dari sidang pertama pada 14 Oktober 2025, yang sebelumnya ditunda karena ketidakhadiran tergugat, yakni Presiden RI. Ketidakhadiran Presiden untuk kedua kalinya ini menuai kekecewaan mendalam dari pihak penggugat dan kuasa hukumnya, yang menilai bahwa sikap tersebut tidak mencerminkan teladan sebagai kepala negara dalam menghormati proses hukum.
BACA JUGA:Prabowo Subianto Mangkir dari Sidang Gugatan Status Ibu Kota Negara
Gugatan Terkait Kejelasan Status Ibu Kota Negara Antara DKI Jakarta dan IKN
Dalam berkas gugatan yang diajukan ke PN Jakarta Pusat, Presiden RI diminta untuk bersikap tegas dan menetapkan secara jelas status antara DKI Jakarta dan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Tim kuasa hukum penggugat dari SUPER Indonesia (Suara Pengacara Rakyat Indonesia) — terdiri dari Panardan, S.H., Agus Salim, S.H., dan M. Rusli Efendi, S.H., M.H. — menegaskan bahwa hingga kini belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang secara resmi menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke IKN, sehingga secara hukum dan konstitusional DKI Jakarta masih memegang status ibu kota negara.
“Presiden seharusnya tidak membiarkan bangsa ini hidup dalam ketidakpastian hukum. Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, beliau wajib memberikan arah yang tegas: apakah ibu kota negara tetap di Jakarta atau sudah sah berpindah ke IKN. Rakyat menunggu kepastian, bukan sekadar retorika pembangunan,” tegas Panardan, S.H., selaku kuasa hukum penggugat.
BACA JUGA:Presiden Prabowo Subianto Sampaikan Apresiasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan
Juru Bicara SUPER Indonesia: ‘Negara Tidak Bisa Dijalankan di Atas Kebingungan Hukum’
Juru bicara SUPER Indonesia, M. Rusli Efendi, S.H., M.H., menyampaikan pernyataan keras bahwa satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum menunjukkan ketegasan dalam menentukan arah tata kelola pemerintahan pusat.
“Negara tidak bisa dijalankan di atas kebingungan hukum. Hingga hari ini, Sekretariat Negara masih di Jakarta, sementara proyek IKN terus dipaksakan berjalan tanpa Keppres pemindahan ibu kota. Ini ibarat satu tubuh dengan dua kepala — absurd secara administrasi, kabur secara hukum, dan berpotensi menimbulkan kekacauan konstitusional,” tegas Rusli Efendi dengan nada keras.
“Jika Presiden tidak segera mengambil keputusan tegas, maka rakyat akan terus terjebak dalam ketidakpastian status ibu kota. Kita ini negara hukum, bukan negara proyek. Jangan sampai hukum dikorbankan demi pencitraan pembangunan,” lanjutnya.
Rusli juga menambahkan, konsep “Twin Cities” antara DKI Jakarta dan IKN yang dijalankan saat ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas, melainkan hanya bersifat administratif dan politis.
“Konsep kembar itu bagus untuk kota wisata, tapi bukan untuk ibu kota negara. Negara hanya bisa punya satu ibu kota, satu pusat pemerintahan, dan satu dasar hukum yang tegas,” pungkasnya.