Jakarta, AktualNews- Frenki (43) dengan dua anak sejak 2009 konsisten jual cupang. Tapi, bila ada borongan bangunan maka ia kerjakan dan melupakan cupang yang dicari para bocil di bilangan Palmerah, Jakarta Barat.
Bila habis stok cupang, Franki belanja kembali di Pasar Parung dengan mengendarai motor. Modal per ekor tiga ribu rupiah dijual lima ribu, dan yang dibeli dengan modal seribu akan dijualnya seharga tiga ribu. Praktis per hari ia mengantungi untung sekitar duaratus ribu dari seratus ekor yang terjual.
"Itu keuntungan kotor. Karena plastik ikan kan ane beli. Per kilo seharga sepuluh ribu," kata Franki, Selasa (16/9) siang di sudut rumah yang dikerubungi para bocil yang mencarinya sejak pagi telah selesai pulang sekolah.
BACA JUGA: Di tengah Gempuran Belanja Daring, Usaha Kecil Tetap Memiliki Tempat Tersendiri di Hati Masyarakat
Lelaki warga Kotabambu Utara, Palmerah ini selama enam belas tahun tidak pernah merasa ada pesaing dalam usahanya. Kalaupun ada yang yang menjual ikan hias umumnya tidak sejenis seperti yang ikan yang ia jual.
"Mereka umumnya menjual aneka ikan. Beda dengan ane. Cuma ikan cupang sejak dulu. Mengapa? Karena di mata ane, ikan cupang adalah ikan pertarung yang indah. Sebelum melontarkan pukulan itu ikan memamerkan keindahan tubuhnya. Asyik deh melihatnya," Jelas Frenki.
Tampaknya, sikap ksatria cupang yang dikagumi oleh Frenki perlu ditiru oleh aparat yang sering menangani demonstrasi di lapangan. Cupang tidak pernah mengeroyok cupang lawannya bila beradu fisik di lapangan. Beda dengan aparat yang tidak mampu menahan emosinya bila menangkap para demonstran, biasanya memukul beramai-ramai bergantian.
BACA JUGA:Bersama Komika Sertu Daslan di Surabaya
Rakyat adalah Tuan, majikan, atau bos. Aparat adalah pelayan. Mereka bila emosi dan marah lupa dengan semboyannya: melindungi, mengayomi dan melayani.***