Jakarta, AktualNews-Sabtu malam, 30 Agustus 2025, kawasan Slipi masih terlihat massa unjuk rasa, ini bukan sekadar titik koordinat di peta Jakarta. Ia menjelma menjadi panggung kemarahan, tempat rakyat berkumpul bukan untuk merayakan, tetapi untuk menuntut. Ribuan orang turun ke jalan, menolak diam, menolak dilupakan.
Mereka berdiri di bawah sorotan lampu kendaraan taktis, di tengah sirene yang meraung, dan di antara komentar digital yang membanjiri siaran langsung. Slipi malam ini adalah suara yang tak bisa dibungkam.
BACA JUGA:Ratusan Ojol Kepung Polres Bogor, Lalulintas Sempat Lumpuh
Aksi ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari luka: kematian seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang tewas dalam bentrokan di Pejompongan. Ia lahir dari ketidakadilan yang dirasakan oleh mereka yang hidup di pinggiran sistem, yang setiap hari berjibaku di jalanan demi sesuap nasi. Ketika nyawa rakyat tergilas oleh roda kekuasaan, maka jalanan pun menjadi ruang pengadilan.
Yang mencolok bukan hanya kerumunan, tapi absennya negara. Di tengah ribuan suara yang menuntut keadilan, tak satu pun pernyataan resmi yang menenangkan.
Tidak ada pemimpin yang muncul, tidak ada tangan yang terulur. Yang ada hanya aparat yang berjaga, dan rakyat yang mengatur lalu lintas sendiri. Ironis, ketika negara hadir dalam bentuk barikade, bukan pelukan.
BACA JUGA:Beberapa titik di Jakarta Masih Tersendat, Lalu Lintas Belum Pulih Usai Aksi Massa
Editorial ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan. Kepada mereka yang duduk di kursi kekuasaan: dengarlah. Jangan tunggu jalanan berubah jadi bara. Jangan tunggu rakyat kehilangan harapan. Karena ketika suara rakyat tak lagi didengar, sejarah menunjukkan bahwa jalanan akan bicara dengan caranya sendiri—dan itu jarang berakhir damai.***