Jakarta, AktualNews- Dalam sebuah forum para Jenderal dan Aktivis, Ruslan Buton mempertanyakan sikap saya yang selalu menentang Presiden. Saya bilang, perlawanan saya kepada Soeharto karena dia memanipulasi Konstitusi sehingga bisa terpilih berkali-kali sebagai calon tunggal. Dengan jawaban itu saya berharap Bung Ruslan mengerti, bahwa Wowok bin Wiwik juga sedang bermain-main dengan Konstitusi kita.
Itu berawal dari bentrok saya dengan Mr. Clean dalam rapat dengar pendapat tentang RAPBN 95 di DPR-RI. Saya protes karena kepada kami tidak dibagikan Buku RAPBN. Jadi, apa yang mau dibahas, wahai Mr. Clean?! Akhirnya saya di- recall oleh PPP. Universitas Hannover dan Humboldt mendengar dan saya diundang untuk menyampaikan serba-serbi industrialisasi di Indobesia, bertepatan dengan Pameran Industri Hannover, April 95.
BACA JUGA:Selamat Bertugas Pak Hendarto: Kenangan Manis di Kemiri
Dalam Pameran itu, Indonesia mendapat Pavilyun Istimewa dan Luas, di mana Pak Harto diminta membukanya pada 3 April. Hanya potongan CN-235 dan Mesin CNC untuk produksi Textil Texmaco yang bisa dilihat hebat... Lain2nya gombal.
Soeharto didemo di hampir semua kota yang dikunjunginya, termasuk di kota Dresden, karena dianggap melanggar HAM di Timor-Timur, Aceh dan Papua. Saya dituduh mengorganisir demo-demo Amnesty Internasional tersebut, dan berusaha mencelakai Soeharto. Semuanya tak terbukti, saya tidak pernah ke Dresden, sehingga tuduhan beralih ke "menghina Soeharto" karena menyebutnya Diktator dalam ceramah di forum Perhimpunan Pelajar Indonesia di Universitas Teknik Berlin.
Ada 4 Saksi didatangkan Jaksa dari Jerman. Saya menghadirkan 5 Saksi. Terjadi berbagai manipulasi dalam Sidang, termasuk Bukti Tertulis dari Saksi Sri Basuki bertandatangan palsu yang dikirim dari Jerman dan tanpa sumpah. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat pun menjatuhkan hukuman 34 bulan dari tuntutan Jaksa 48 bulan pada Mei 96. Banding dan Kasasi saya ditolak, sehingga harus masuk Cipinang 5 Mei 97.
Sementara itu pengadilan atas tuduhan melanggar Undang-undang Anti Subversif (1963) berlangsung di PN. Jakarta Selatan. Saya didakwa membuat partai baru, menantang Soeharto dalam Pilpres dan lain-lain yang "merongrong kewibawaan Pemerintah".
Pada 21 Mei 98 Soeharto jatuh. Pada 25 Mei Menteri Kehakiman Muladi dan Bang Buyung Nasution datang ke Cpinang sambil membawa Konsep Pembebasan saya yang dibuat Akbar Tanjung. Saya menolak, dan mengancam menggembok sel dari dalam, kalau dasarnya "memberi pengampunan". Mereka datang lagi malam hari dengan Konsep yang lebih baik, menggunakan istilah berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Yaitu, pemberian Amnesti untuk Kasus Jerman dan Abolisi untuk Kasus Subversif. Saya setuju dan terbitlah Kepres Nomor 80/98. Menjelang Subuh 26 Mei saya keluar dari Cipinang.
Ternyata Kepres tersebut bukan murni keinginan Habibie. Ada tekanan dari 15 _Congressmen_ AS untuk membebaskan saya lewat suratnya bertanggal 22 Mei 1998. Saya mempunyai kopi surat tersebut, tapi Habibie tidak mengakui pernah menerimanya.
Yang diterangkan oleh Muladi dan Bang Buyung Nasution, bahwa Amnesti itu diberikan untuk Perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap; dan Abolisi itu untuk Perkara yang sedang berjalan... Istilah Amnesti dan Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong dan/atau Hasto Kristianto tersebut salah; tidak sesuai dengan definisi.
Di luar penjara, saya pun masih menolak Amnesti dan Abolisi tersebut, sekalipun sudah bebas. Saya mencari penyelesaian hukum atas kasus saya, dan bukan politis yang mengandalkan kewenangan seorang Presiden. Kalau politis, sejak awal mestinya saya tidak dituntut, karena apa yang saya sampailan adalah Hak Berpendapat yang dijamin Konstitusi. Pemberian Amnesti dan/atau Abolisi mestinya didasarkan pada pembuktian secara hukum, bahwa memang telah terjadi kesalahan dalam proses pemidanaan disertai dengan pertimbangan kemanusiaan. Bukan suatu hadiah semata karena pertimbangan politik, apalagi untuk cari muka.
Memang selama proses pemidanaan berlangsung, sudah ada keinginan dari para Ahli Hukum, termasuk Oetoyo Usman, Singgih dan Muladi untuk mencabut UU Anti Subversi 1963. Demikian pula Eksepsi saya menyatakan UU tersebut sudah dicabut Soekarno sendiri sewaktu konfrontasi dengan Malaysia dan menggantinya dengan Kepres Komando Operasi Penanggulangan Kegiatan Subversi 1964. Dan benarlah UU Anti Subversi itu akhirnya dicabut Habibie. Saya meminta agar sidang2 di PN Jaksel yang terputus oleh Abolisi dibuka kembali. Sidang dibuka dan saya diputus bebas dari segala dakwaan (Menggugat Dakwaan Subversi @2000)
Demikian pula tahun 2000 saya mengajukan Peninjauan Kembali atas Kasus Jerman. Novum yang saya ajukan adalah Surat Sri Basuki, yang selain dipalsukan, juga tidak didasarkan pada Sumpah . Baru tahun 2007 MA memutuskan SBP tidak terbukti secara meyakinkan menghina Soeharto (Melawan Seorang Diktator @2013).
Tentulah tidak disangkal, bahwa Tom Lembong dan Hasto Kristianto beserta para pendukungnya merasakan "kebahagiaan" luar biasa mendapat hadiah bebas dari Wowok bin Wiwik.... Mereka mengira dirinya benar-benar bersih, karena berlindung pada Perintah Penguasa Politik.
BACA JUGA:Republik Keledai