Perspektif Islam tentang Malam 1 Suro
Dalam Islam, bulan Muharram termasuk bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum). Rasulullah SAW menyebutnya sebagai "Syahrullah al-Muharram" (bulannya Allah), yang menunjukkan kehormatan bulan tersebut. Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, puasa sunah (seperti puasa Asyura pada 10 Muharram), dan amal saleh.
Namun, Islam tidak mengenal konsep mistik dan larangan-larangan khusus seperti yang berkembang dalam kepercayaan Jawa. Hal-hal seperti “pantangan menikah” atau “malam keramat” lebih merupakan warisan budaya dan mitologi lokal.
Antara Budaya dan Keimanan
Malam 1 Suro menunjukkan bagaimana budaya lokal dan ajaran agama bisa saling berbaur dalam praktik masyarakat. Bagi sebagian orang, ritual-ritual Suro dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur. Bagi yang lain, 1 Suro adalah momen untuk kembali memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan, tanpa melibatkan unsur mistik.
Malam 1 Suro bukan sekadar malam pergantian kalender. Ia adalah ruang hening tempat orang Jawa mencari jati diri, menghormati leluhur, dan menjalani tirakat batin. Meski tidak semua masyarakat Indonesia mengamalkannya, malam ini tetap menyimpan nilai-nilai spiritual yang kuat: tentang pengendalian diri, ketenangan jiwa, dan ketundukan pada kehendak Ilahi.***